Perjalanan Panjang Menolak Blok Wabu

0

 

Perjalanan Panjang Menolak Blok Wabu
Ada satu garis panjang yang harus kita ceritakan kembali. Garis itu ditulis dengan poster-poster karton di jalanan Nabire, dengan teriakan mahasiswa yang menggema di depan kantor DPR PapuaTengah, Kamis 17 Juni 2025 dengan langkah kaki yang tak pernah berhenti walau keringat bercampur air mata.

Mahasiswa dan mahasiswi Papua Tengah turun ke jalan, menolak tambang emas Blok Wabu. Mereka tahu, emas itu bukan sekadar logam mulia; ia adalah luka baru yang bisa memperpanjang konflik, mengusir orang dari tanahnya, dan mengulang cerita buruk yang sudah terlalu sering terjadi di tanah _"Isla Del Oro"_. Dari jalanan itu, suara mereka perlahan menjelma menjadi sebuah wadah Tim Advokasi Blok Wabu.

Tim ini bukan lahir dari meja rapat dingin, tapi dari perlawanan dan kegetiran. Dari poster bertuliskan “Tolak Wabu, Selamatkan Intan Jaya”, dari suara serak mahasiswa yang orasi, dari keberanian para legislator yang berani menyebut dirinya wakil rakyat.

Hingga hari itu tiba, 2 Oktober 2025, garis takdir itu membawa mereka ke Jakarta. Di sebuah ruangan kementerian yang biasanya asing dan jauh, mereka akhirnya duduk berhadapan dengan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Pertemuan yang dulu dianggap mustahil, akhirnya terjadi.

Saya ingin menundukkan kepala dan memberi hormat kepada mereka yang membuat hari itu menjadi sejarah yang dicatat oleh para leluhur :
John NR Gobai, Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, yang membuka pertemuan dengan doa dan memastikan suara rakyat tak hanya berhenti di jalanan.

Henes Sondegau, Ketua Tim Advokasi, yang konsistensinya sejak mahasiswa berdemo hingga hari ini berbuah, bisa bertanya langsung pada menteri apakah izin Blok Wabu sudah keluar atau belum?

Arnold Luis Paerong, Julius Wandagau, Bartholomeus Mirip, para legislator yang tidak lupa bahwa jabatan hanyalah alat untuk menyampaikan suara rakyat.

Marcel Pigai dan kawan-kawan mahasiswa, yang menyerahkan kajian dan sikap resmi, menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya lahir dari emosi, tapi juga dari pengetahuan.

Jawaban menteri;  "Izin tambang Blok Wabu belum ditandatangani. Dan lebih jauh, ia berkata sebagai anak adat Papua (Menurut Dia) ia tak mungkin keluarkan izin tanpa bicara dengan pemilik hak ulayat. Kalimat yang membuat ruangan itu hening sejenak, seolah membuka ruang bagi harapan meski kita tahu, janji politik selalu bisa berubah arah.

Namun hari ini, izinkan saya menaruh hormat setinggi-tingginya. Bukan karena perjuangan ini sudah dimenangkan, tapi karena perjuangan yang panjang ini membuktikan satu hal; "Suara rakyat Papua bisa menembus tembok birokrasi Jakarta."

Dari jalanan depan DPRPT yang berdebu, dari poster mahasiswa yang hampir robek, dari orasi yang diselimuti panas matahari, hingga meja menteri yang penuh dokumen, kita menyaksikan satu perjalanan, perlawanan yang konsisten bisa membuka jalan mustahil.

Saya berterima kasih kepada semua yang berjuang. Kepada mahasiswa yang tidak lelah berdiri di jalan. Kepada Tim Advokasi yang tidak gentar menantang kekuasaan. Kepada anggota DPR Papua Tengah yang hari ini benar-benar menunjukkan bahwa mereka adalah wakil rakyat, bukan sekadar penghuni kursi di gedung parlemen.

Dan terutama, terima kasih kepada Tuhan, karena tanpa campur tangan-Nya, pintu hari ini tak akan pernah terbuka.

Blok Wabu masih menjadi pertaruhan. Tetapi satu hal sudah jelas, generasi ini, mahasiswa dan legislator yang berani, telah menuliskan bab penting dalam sejarah Papua Tengah.

Hari ini kita belajar, bahwa air mata bisa jadi tinta sejarah, dan teriakan di jalan bisa berbuah pertemuan di ruang kekuasaan.

Hormat Saya;

Koko Alberth*

Bagi kalian para pejuang 🫡

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top