PENJAJAHAN PAPUA DIPERPANJANG

0

 PENJAJAHAN PAPUA DIPERPANJANG:



Ada beberapa catatan atas keputusan pemerintah memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Freeport hingga 2061. Pertama, secara hukum, dasar perpanjangan ini rapuh. Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan Pasal 169A UU Minerba—yang mengatur automatic roll over—sebagai inkonstitusional bersyarat. Artinya, keputusan ini bertentangan dengan amanah konstitusi. Revisi UU Minerba pun belum rampung, tetapi pemerintah terburu-buru memberi kepastian kepada Freeport.


Kedua, secara hilirisasi, Freeport punya rekam jejak buruk. Janji membangun smelter di Gresik molor bertahun-tahun, bahkan pemerintah menjatuhkan denda Rp852 miliar—jumlah yang tak seberapa dibanding nilai ekspor konsentrat Freeport yang mencapai USD 8–9 miliar per tahun. Kini Freeport kembali berjanji membangun smelter di Fakfak. Janji yang selalu diulang, tetapi selalu gagal ditepati. Lantas, mengapa negara masih percaya?


Ketiga, soal kepemilikan saham. Divestasi 2018 memang membuat PT Inalum menguasai 51,23% Freeport Indonesia. Namun akuisisi senilai USD 3,85 miliar itu dibiayai dengan global bond, bukan kas negara. Kita membeli rumah sendiri dengan uang pinjaman. Kini, pemerintah berencana menambah saham 10% lagi, dengan kompensasi perpanjangan izin hingga 2061. Jika pembiayaannya kembali lewat utang, maka ini bukan kedaulatan, melainkan pengulangan skema gadai.


Mari kita bandingkan. Tambahan 10% saham bisa memberi dividen USD 300–400 juta per tahun. Tetapi perpanjangan izin 20 tahun membuat Freeport tetap dominan, dan Indonesia kehilangan momentum untuk mengelola tambang sendiri pada 2041. Trade-off ini timpang: keuntungan kecil untuk hari ini, tetapi kehilangan besar bagi masa depan.


Padahal, 2041 seharusnya jadi tonggak kemandirian. Insinyur Indonesia sudah cukup banyak, teknologi bisa dipelajari, dan kapasitas nasional bisa dibangun. Dengan perpanjangan hingga 2061, generasi Z dan Alpha hanya akan mewarisi lubang tambang, bukan kedaulatan atas sumber daya alam.


Keputusan ini pada akhirnya meninggalkan empat cacat: cacat hukum, cacat hilirisasi, cacat finansial, dan cacat generasi. Empat cacat yang cukup untuk menyimpulkan bahwa perpanjangan IUPK Freeport bukan langkah strategis, melainkan kompromi yang menggadaikan masa depan bangsa.



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top