PERSIDANGAN PEMBUNUHAN SECARA PSIKOPAT 4 WARGA NDUGA DI TIMIKA OLEH TNI

0
Korban Tembak dan Muntilasi 4 Warga di Timika.

 Siaran Pers

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM

“Peradilan Militer: Persidangan Sandiwara Untuk Melindungi Para Pelaku Anggota

TNI dalam Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Warga Sipil di Timika”

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Advokat

Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, LBH Kaki Abu,

Elsham Papua bersama Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang tergabung dalam

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam keras tuntutan yang

disampaikan oleh Oditur Militer dalam proses peradilan militer yang menyidangkan 6

(enam) terdakwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif berkaitan dengan kasus

pembunuhan dan mutilasi terhadap empat orang warga sipil di Papua. Terbaru, terdakwa

yang merupakan pengemban pangkat tertinggi yakni Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi

hanya dituntut 4 tahun penjara karena melakukan penadahan sebagaimana yang disebut

dalam dakwaan primer.

Sebelumnya, berdasarkan informasi yang kami peroleh melalui website Sistem Informasi

Penelusuran Perkara (SIPP), terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi oleh Orditurat

Tinggi didakwa di Primer : Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP. Subsider : Pasal 365 ayat (4)

jo 55 ayat (1) KUHP. Lebih Subsidair : Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) KUHP. Lebih lebih

Subsidair : Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) KUHP. Dan Pertama : pasal 132 KUHPM Atau

Kedua : Pasal 121 ayat (1) KUHPM Atau Ketiga : pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 55

ayat (1) KUHP. Atau Keempat : Pasal 181 jo pasal 56 ke-2 KUHP.

Susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis, sebab menaruh Pasal

480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai

dakwaan primer. Padahal dalam hukum pidana, bentuk surat dakwaan subsidair yang ideal

adalah dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan

secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana ‘yang terberat’ sampai kepada

dakwaan tindak pidana ‘yang teringan’.1

Kecurigaan kami terbukti pada Kamis 19 Januari 2023 lalu, Terdakwa Mayor Dakhi dituntut

sangat ringan. Oditur menyatakan Mayor Dakhi terbukti bersalah melakukan tindak pidana

melanggar Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 121 ayat (1) KUHPM. Lebih lanjut,

Oditur menuntut Mayor Dakhi dengan hukuman 4 tahun penjara dikurangi masa tahanan,

serta dipecat dari TNI AD. Tuntutan ini jelas menciderai rasa keadilan publik, utamanya

keluarga korban. Pelaku utamanya Mayor Dakhi seharusnya dituntut jauh lebih berat

menggunakan Pasal Pembunuhan Berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP,

melihat keterlibatan yang dilakukan. Dalam aspek kemiliteran, Mayor Dakhi juga

seharusnya bisa dihukum lebih berat, karena terlibat dalam seluruh proses perencanaan

dan menyetujui tindakan yang dilakukan anak buahnya. Secara moril pimpinan seharusnya


dapat mencegah pelanggaran prajurit, terlebih tindakan yang dilakukan sangatlah keji

berupa pembunuhan dan mutilasi.

Selain itu, tuntutan yang dibacakan pada persidangan lalu tentu tidak mewakili

kepentingan para keluarga korban dan lebih umum masyarakat Papua. Peristiwa keji

berupa kekerasan terjadi di Papua yang dilakukan oleh aparat militer selalu berakhir

dengan penjatuhan hukuman yang ringan. Kami melihat bahwa conflict of interest begitu

kental tercium dan kecenderungan peradilan militer melindungi para pelaku.

Kami juga menilai bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Terdakwa Mayor

Dakhi terlihat pasif dan tidak objektif dalam menggali kebenaran materiil. Hakim juga tidak

berupaya untuk menggali fakta peristiwa secara utuh. Agenda sidang dikebut secara

terburu-buru, alih-alih diberi waktu yang cukup dan proporsional untuk menguji secara

komprehensif alat bukti yang terjadi justru sebaliknya. Semestinya majelis hakim dapat

menggali keterangan saksi atau alat bukti lain agar tujuan utama proses peradilan pidana

yakni mencari kebenaran untuk membongkar kasus pembunuhan dan mutilasi yang

menimpa warga sipil di Timika.

Atas dasar hal tersebut, Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM

menyatakan:

1. Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel

Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim

Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani akan membuat putusan yang berbeda dari

tuntutan Oditur dengan menjatuhkan putusan Ultra Petita dan menghukum pelaku

dengan hukuman seberat mungkin sesuai dengan Pasal 340 KUHP;

2. Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat

peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil;

3. Panglima Tentara Nasional Indonesia melakukan pemantauan terhadap proses

peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para

anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang

terjadi di Timika;

4. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia segera

memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang

telah diajukan oleh keluarga para korban;

Jakarta, 23 Januari 2023

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM

Narahubung:

Narik Yimin Tabuni (Perwakilan Keluarga Korban)

Gustaf Kawer (PAHAM Papua)

Latifah Anum Siregar (ALDP)

Rivanlee Anandar (KontraS)

Emanuel Gobay (LBH Papua)

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top