MENGAPA MEDIA GAGAL MELIPUT PAPUA ?
(FEBRIANA FIRDAUS - 13 DEC, 2017)
Dalam sejarah jurnalisme, sangat sulit menemukan jurnalis yang fokus menulis Papua, apalagi jurnalis asal Indonesia.
Saya mencatat hanya dua orang jurnalis yang melaporkan Papua dengan sangat detail. Pertama adalah mantan editor investigasi saya di Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, yang meliput tentang hutan adat. Kedua adalah Michael Bachelard, wartawan Fairfax, Media yang menulis tentang Islamisasi anak-anak Papua. Michael bahkan bukan orang Indonesia, tapi saya bisa memasukkannya dalam kategori produk jurnalisme tentang Indonesia.
Untuk wartawan di Papua, saya menyebut dua nama penting yang merupakan pelopor, yakni Victor Mambor dari Tabloid Jubi dan almarhum Oktovianus Pogau dari Suara Papua. Yang dua terakhir sudah teruji konsistensinya menyuarakan suara warga Papua.
Lalu ke mana wartawan lainnya? Saya tidak bisa mengingkari bahwa ada yang salah memang dengan jurnalis kita (terutama di Jakarta), karena sedikit dari mereka yang mengetahui bahwa sebenarnya Papua adalah tajuk utama, terutama dalam hal hak asasi manusia. Karena hanya di Papua militer masih melakukan operasi aktif seperti dalam kondisi perang dan pelanggaran HAM terus terjadi, setiap pekan.
Entah karena minat wartawan terhadap isu Papua yang kurang atau ruang redaksi di Jakarta masih setengah hati memberitakan provinsi paling timur di Indonesia ini.
Model produk berita tentang Papua antara lain: tentang penembakan. Pada umumnya, dalam tulisan itu digambarkan prajurit TNI atau polisi sedang membasmi kelompok separatis yang menginginkan Papua merdeka. Lalu dengan gagahnya, aparat berhasil menembaki anggota Organisasi Papua Merdeka. Tentu saja, ada anggota TNI/Polisi yang menjadi korban. Mereka disebut pahlawan karena telah mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata kuncinya adalah: separatis, kedaulatan, NKRI.
Saya termasuk dari jurnalis yang pernah menulis demikian, tentu saja karena ketidaktahuan saya. Namun ketika saya melakukan riset, banyak sumber alternatif yang disajikan. Sebuah narasi lain, yang beda dari narasi tunggal yang pernah didoktrinkan kepada saya oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto di sekolah.
Di sekolah, dan mungkin sampai sekarang, saya diajarkan tentang sejarah Papua versi Orde Baru. Antara lain tentang Operasi Trikora yang digagas oleh Presiden Soekarno dengan menugaskan Mayor Jenderal Soehartosebagai panglima. Operasi itu merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Akhirnya militer Indonesia menang dan Soeharto jadi “pahlawan”. Papua pun masuk wilayah kedaulatan “NKRI harga mati”.
Begitulah sejarah ditulis di buku-buku sekolah dan tidak diubah hingga hari ini.
Sayangnya kami sebagai wartawan tak banyak mencari tahu, apakah benar sejarah Trikor sedemikian lurusnya, tanpa kesalahan?
Saya mengelaborasi fenomena jurnalis kita ini dengan tiga kata kunci tadi: separatis, kedaulatan, dan NKRI harga mati.
Separatis
Kesalahan mendasar dari jurnalis yang meliput dari Papua adalah mereka hanya mengutip dari satu sumber yakni aparat, dengan alasan bahwa sumber orang Papua atau OPM sulit dihubungi. Maka dengan semena-mena kita mengutip omongan aparat yang menyebut kelompok bersenjata pro kemerdekaan OPM sebagai separatis.
Apakah separatis itu?
Prinsip dari separatisme adalah, sebelumnya mereka sudah jadi bagian dari sebuah kesatuan. Tapi dalam kasus Papua, tidak demikian. Sebuah dokumen telegram AS yang baru saja diterbitkan oleh kantor berita AP dan ditulis korespondennya Stephen Wright dapat menjelaskannya. Laporan eksklusif itu memuat informasi mengenai Papua, yang merupakan bagian barat pulau raksasa Papua Nugini, tetap berada di tangan Belanda setelah Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II.
Kemudian, Pemerintah Indonesia memberi mandat pada Mayor Jenderal Soeharto untuk melaksanakan operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk mengusir Belanda dan menguasai tanah Papua pada 1961. Namun dalam hal ini, pemerintah selalu menggunakan “merebut” tanah Papua. Kata merebut sering dilekatkan pada kepemilikan, itu berarti bahwa pihak tertentu telah mencuri dari Indonesia. Padahal, Papua tidak pernah jadi bagian dari Indonesia. Papua tidak pernah masuk peta NKRI saat negara ini mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945.
Artikel itu juga menyebut, “banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk mencaplok Papua Barat dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.”
Fakta bahwa Papua tak pernah menjadi bagian dan tak pernah dengan sukarela bergabung dengan Indonesia, menjadikan kata separatis tidak cocok digunakan dalam setiap pemberitaan tentang OPM. Dasar yang selalu dipakai pemerintah Indonesia adalah Act of Free Choice atau referendum PEPERA pada 1969 di mana hanya kurang lebih 1.000 orang tetua dipaksa untuk memberikan suaranya.
Separatis dapat digunakan pada kelompok perjuangan dari wilayah yang mendeklarasikan kemerdekaan bersama Indonesia pada 1945, tentunya dengan sukarela, tanpa ada invasi militer atau kecurangan dalam referendum. Saya menduga penggunaan kata separatis dibumikan sebagai bahasa politik pemerintah NKRI yang ingin menutupi sejarah gelap bergabungnya Papua ke Indonesia. Akan lebih tepat, jika jurnalis menghindari untuk memakai kata ini, karena media sebaiknya tidak menjadi alat propaganda penguasa.
Kasus separatis ini bisa saya jajarkan dengan penggunaan kata teroris di media-media Amerika. Penggunaannya juga sama gagapnya. Yakni kata teroris dilekatkan kuat pada Muslim. Padahal dalam kenyataannya, terorisme tidak memandang agama atau suku. Kritik tentang penggunaan terorisme ini disebut cukup politis. Terkadang juga dipakai sebagai alat propaganda yang meningkatkan Islamofobia.
Ahli jurnalisme, Philip Seib, mengkritisi ihwal pemakaian kata ini. Sejumlah ulasan juga menyebut ada bias yang luar biasa dalam pemakaian kata terorisme ini. Dan ini terjadi secara sistemis. Hal yang sama terjadi pada penggunaan kata separatis di media di Indonesia.
Kedaulatan & NKRI harga mati
Dalam setiap sidang umum PBB, Indonesia selalu dengan gagah menyodorkan diplomat mudanya untuk berbicara tentang kedaulatan negara di tanah Papua. Mereka selalu menyebutnya dengan “serangan diplomatik” pada kedaulatan NKRI.
Pada 24 September 2016, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-71 digelar di Markas PBB New York. Sebanyak enam pemimpin negara kawasan Pasifik, yakni Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva, Presiden Nauru Baron Waqa, Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga mengajukan pernyataan yang tentang pelanggaran HAM di Papua.
Alih-alih menjawab tudingan mengenai dugaan pelanggaran HAM, yang sampai saat ini tak pernah dituntaskan secara hukum, Indonesia berulang-ulang sibuk menuding negara kawasan Pasifik ini mengusik “kedaulatan” NKRI.
Media-media di Indonesia pun tak kalah sibuk memotret peristiwa ini dengan bahasa-bahasa yang tak seharusnya muncul di berita. Seperti kantor berita Antara yang mengatakan bahwa diplomat muda Indonesia seakan-akan dikeroyok oleh enam pemimpin negara. Antara kemudian menggambarkan sang diplomat itu sebagai “pahlawan” kedaulatan. Kantor berita Tribun lebih parah lagi, ia menyemat kata cantik untuk sang diplomat sebagai pujian karena telah “berhasil menghajar” enam kepala negara di forum itu.
Sebagai jurnalis, saya dapat memastikan bahwa terjadi framing berita Papua di sidang Umum PBB tersebut oleh media-media Indonesia. Framing yang sebenarnya mengaburkan hal utama yang harus dijawab diplomat muda Indonesia itu: Pelanggaran HAM di Papua.
Bahwa ada sebuah peristiwa yaitu hilangnya ribuan mungkin jutaan warga Papua karena operasi militer. Saya sebut yang paling saya pahami adalah peristiwa Paniai. Ribuan masyarakat Paniai ditangkap dengan semena-mena oleh pasukan militer selama beberapa tahun, dengan alasan “menyelamatkan kedaulatan nasional”. Beberapa yang ditangkap tidak pernah ditemukan lagi. Masyarakat Paniai menyebut daerahnya sebagai “tempat yang tragis dan terlupakan”. Belum lagi kasus Wamena berdarah (2003) yang, penyerbuan warga di Wasior (2001), dan terbunuhnya anak-anak di Paniai pada 2014.
Seharusnya media tidak melakukanframing atau gagap dalam memberitakan aksi diplomat ini, alih-alih menyematkan kata cantik, media seharusnya menyematkan pertanyaan besar: apakah kedaulatan nasional yang kita banggakan itu dibangun di atas darah ribuan orang Papua yang ditangkap dan hilang entah ke mana?
Tentang bahasan NKRI harga mati, sudah banyak contoh bagaimana negara-negara di luar sana rusak karena jargon nasionalisme mereka sendiri. Tak perlu jauh-jauh: tengoklah Myanmar yang tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Akhirnya jutaan warga Rohingya dipersekusi.
Begitu juga dengan Indonesia, sudah banyak warga kita yang didiskriminasi karena identitas nasional ini. Apalagi identitas nasional ini sering digunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi warga Indonesia yang dianggap “tidak ideal” atau tidak masuk kategori mayoritas: ultranasionalis, moderat, dan relijius. Seperti Syiah, Ahmadiyah, kelompok Tionghoa yang mengalami persekusi tiap pergantian pemimpin di Indonesia, bahkan tiap pemilihan umum digelar.
Bagaimana kita sebaiknya memandang identitas nasional “NKRI harga mati” ini terhadap kasus Papua? Seorang jurnalis tidak bekerja untuk negara dan tidak menjadi agen kampanye identitas nasional mana pun. Ia bekerja untuk mencari fakta di lapangan, mengungkap apa yang tidak diungkap di publik, menyajikan pemberitaan yang tidak melanggar nilai-nilai kode etik jurnalistik yang setia pada akurasi dan kebenaran yang fungsional.
Ini berlaku baik untuk jurnalis lokal yang sudah dicekoki soal NKRI sejak duduk di kelas SD dan jurnalis asing seperti Amerika yang perusahaan asal negaranya, Freeport McMoRan, kerap disebut diuntungkan secara bisnis karena “penjajahan” Indonesia di tanah Papua. Keduanya seharusnya tidak terikat dengan “identitas nasional” tapi identitas sebagai jurnalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti kata Bill Kovach, yang diulas oleh Andreas Harsono, elemen jurnalisme menyebut kita harus disiplin verifikasi dan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Kita seharusnya skeptis ketika “NKRI harga mati” dipakai untuk menyudutkan orang-orang Papua yang ingin menyuarakan pelanggaran HAM di tanahnya. Bahwa mungkin saja “NKRI harga mati” hanyalah ingatan kita yang keliru dari pelajaran sekolah yang kita dapatkan di zaman Orde Baru atau alat propaganda itu tadi.
Dapatkan fakta dulu baru menulis
Menyadari bahwa masih banyak wartawan yang gagap menulis tentang Papua, maka modal pertama adalah belajar tentang sejarah Papua. Banyak sumber yang bisa menjadi alternatif bacaan untuk belajar tentang sejarah Papua. Laporan-laporan Human Rights Watch misalnya. Pastikan Anda mendapat fakta yang benar tentang Papua.
Dari pembelajaran sejarah ini, wartawan diharapkan untuk memberikan latar belakang di setiap tulisannya tentang Papua, sehingga pembaca mendapatkan konteks dari apa yang sedang terjadi di sana.
Modal kedua, tetap skeptis ketika aparat memberikan informasi tentang “gerakan separatis”. Yang terjadi saat itu, media di Indonesia tampak malas mencari narasumber tambahan. Mereka hanya mengikut aparat. Ketika mereka membantu mencarikan akses kepada narasumber, pembatasan oleh ruang redaksi malah diberlakukan.
Veronika Koman, pengacara HAM yang fokus pada isu Papua, menuturkan pengalamannya saat mengadvokasi krisis Tembagapura terkait dugaan adanya penyanderaan di Timika dekat tambang Freeport McMoRan baru-baru ini oleh TPN-OPM.
Ia menuturkan, ketika itu laporan media Indonesia yang bias tak terbendung. Di tengah situasi sulit itu, ada harapan, ketika kru TV dari Jakarta datang ke Timika. “Saya tahu bahwa ada kru TV asal Jakarta datang ke Timika, saya senang. Saya pikir akhirnya mereka akan membawa terang pada apa yang terjadi di Tembagapura,” katanya kepada saya.
Vero menghubungi beberapa media TV dan membantu mereka mencari akses kepada kelompok Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Kedua media tersebut mewawancarai TPN melalui telepon.
Awalnya wartawan TV itu bersemangat, tapi kemudian ia menunjukan perubahan emosi setelah mendapat telepon dari Jakarta. Hasilnya, “Wawancara tersebut tidak pernah disiarkan”. Semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua Barat kemudian membuat sebuah pernyataan bersama yang mengecam media nasional mengenai pelaporan yang bias.
Juru bicara koalisi ini yang juga seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua Barat, Anum Siregar, mengatakan kepada Vero bahwa seorang wartawan mengeluh mengapa mereka diprotes. Wartawan tersebut mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa mengendalikan apapun. Jakarta tidak mau—atau takut—untuk menerbitkan versi TPN. “Mereka tidak ingin memberikan panggung apapun kepada OPM”, kata Vero.
Padahal, katanya, ini adalah pekerjaan jurnalis untuk melaporkan berita mengutip dari kedua belah pihak.
Selain itu, masalah lainnya adalah batasan dari pihak aparat sendiri. “Mereka (jurnalis) tidak pernah diizinkan pergi ke desa Banti, mereka berhenti di Tembagapura. Banti adalah desa tempat kejadian berlangsung.”
Apa akibatnya? “Kesalahan media nasional selama krisis Tembagapura dapat dengan mudah mengubah situasi ‘tidak terlalu penting’ menjadi pertumpahan darah. Setiap media tampaknya mengeluarkan berita secepat mungkin, mencari kliknya. Mereka tidak menyadari bahwa kehidupan penduduk desa dipertaruhkan, mengingat rekam jejak pasukan keamanan di Papua Barat.” kata Vero.
Sementara itu tim Fairfax Media Jakarta yang diampu oleh Jewel Topsfield mengambil langkah berbeda. Kita dapat belajar dari teknik mereka melaporkan situasi dugaan penyanderaan ini. Ketika konflik antara TPN-OPM dan aparat pecah di Timika, tim Fairfax mengirimstringer-nya untuk mengecek ke lapangan, apakah benar terjadi penyanderaan. Semua hasil liputan di lapangan menunjukkan tidak ada warga sipil yang jadi korban. Mereka juga membuat sebuah artikel khusus tentang hilangnya karyawan Freeport Martinus Benal yang diklaim aparat telah ditembak oleh kelompok OPM dan diserahkan pada keluarga lalu dikubur. Tapi keluarga membantah bahwa mereka telah menerima jasad anggota keluarganya yang malang itu.
Belajar dari kasus Timika, pada akhirnya, kata Vero, “”Peran jurnalis di daerah konflik sangatlah penting sekaligus rapuh. Jurnalisme bisa menyelamatkan nyawa, atau justru menghilangkan nyawa”.
Modal ketiga, menghindari menggunakan istilah-istilah yang bias seperti yang telah dibahas di atas. Dasarnya sudah jelas, bahasa tersebut adalah warisan penguasa Orde Baru.
Yang paling penting juga bagi wartawan adalah tidak main mata dengan pihak-pihak yang disebut sebagai bagian dari pelanggaran HAM ini. Misal menjadi “mitra” aparat dalam memberitakan “keberhasilan” aparat menumpas “separatis”.
Sekali lagi, pekerjaan rumah wartawan untuk memberitakan Papua adalah bagian dari kepingan sejarah yang akan dicatat oleh tinta emas. Suatu hari nanti kebenaran tentang apa yang terjadi di Papua akan tersaji dalam puzzle yang lebih lengkap. Kita hanya butuh menyusunnya, satu per satu, dan mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu dekade. Hanya dengan kualitas jurnalisme yang patuh terhadap kode etik, jurnalisme mampu memberikan sumbangsihnya untuk kemanusiaan, terutama di Papua. Karena tujuan jurnalis hanya satu: menyampaikan kebenaran.
Febriana Firdaus adalah jurnalis lepas yang aktif menulis tentang HAM. Ia juga editor di Ingat65 dan Nawala Suara Papua yang terbit tiap bulan
http://www.newmandala.org/mengapa-media-gagal-meliput-papua/