Penyanderaan Pilot Susi Air Bikin Konflik Papua Makin Meruncing

0

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyandera pilot berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin. Ia adalah pilot Susi Air jenis Pilatus Porter PC 6/PK-BVY yang hilang kontak di Bandara Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua, pukul 06.17 WIT, Selasa, 7 Februari 2023. Bahkan pesawat itu dibakar oleh kelompok pro kemerdekaan Papua.

Philips berangkat dari Bandara Mozes Kilangin, Kabupaten Mimika, membawa lima penumpang, yakni Demanus Gwijangge, Minda Gwijangge, Pelenus Gwijangge, Meita Gwijangge, dan Wetina W.

Pesawat tersebut seharusnya kembali menuju Bandara Mozes Kilangin pada pukul 07.45. Hingga pukul 09.15, pesawat itu tak kembali. Informasi awal yang beredar, 15 pekerja proyek puskesmas di Kabupaten Nduga, 5 penumpang, dan Philips disandera oleh TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya.

Satgas Damai Cartenz pun dikerahkan untuk mencari mereka. Hasilnya, pada 8 Februari 2023, aparat gabungan dari TNI-Polri mengevakuasi 20 orang tersebut menggunakan helikopter.

“5 penumpang pesawat Susi Air dan 15 pekerja bangunan puskesmas di Nduga saat ini dalam kondisi sehat usai dievakuasi,” kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ignatius Benny Ady.

Hal berbeda dilontarkan Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom. Ia mengklaim pihaknya hanya menyandera Philips.

“Polisi dan TNI bilang 15 pekerja disandera, itu tidak benar. 5 penumpang, mereka orang asli (Papua), orang asli (mau) pulang ke kampung mereka," ucap Sebby kepada Tirto, Kamis, 9 Februari 2023.

“TPNPB bakar pesawat saja. Lalu bawa pilot sebagai sandera sebagai jaminan, kami harus bicara dengan pemerintah Selandia Baru dan Jakarta, (dengan) Presiden Joko Widodo. Begitu jelas tujuan politiknya," terang Sebby.

Bahkan dia menilai "penyelamatan" sandera yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia agar dianggap hebat dan naik pangkat. "Itu bukan rahasia baru, itu basi. Yang jelas tidak ada sandera terhadap 15 pekerja dan 5 penumpang,” kata dia.

Sebby menegaskan pihaknya tidak mau melepaskan si pilot, kecuali pemerintah melepaskan Papua dari Indonesia, meminta agar penerbangan masuk ke Kabupaten Nduga mulai sekarang disetop, dan menolak segala macam pembangunan di Nduga.

Alasan lain penyekapan ialah tujuan politik. Mereka menyasar Indonesia dan berharap dunia internasional memahami tujuannya: pelepasan daerah cum pertanggungjawaban.

“Selandia Baru, Amerika, Uni Eropa, Inggris, Australia, mereka mendukung Indonesia jual senjata kepada tentara dan polisi Indonesia untuk bunuh orang asli Papua selama 61 tahun. Maka mereka harus bertanggung jawab, kami harus duduk bicara. Berunding," tutur Sebby.

*Masyarakat jadi Korban*

20 orang yang dievakuasi adalah korban konflik bersenjata di Papua. Korban tak mesti berdarah, kehilangan nyawa, atau eksodus dari kampung. Kejadian ini menjadi bukti bahwa konflik TNI-Polri dengan TPNPB-OPM belum berhenti.

“Kalau kita (rakyat dan pemerintah Indonesia) berkomitmen untuk menghormati HAM, maka semua harus sepakat bahwa pihak manapun yang mengorbankan atau melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakat sipil atau merusak akses layanan publik, tidak dapat dibenarkan, sekalipun dalam situasi perang,” kata Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar kepada Tirto, Kamis (9/2/2023).

Konflik bersenjata di Papua saat ini terjadi terus menerus, semacam siklus kekerasan semakin kuat, nyaris abadi karena pola yang sama terus digunakan.

Menjadi pertanyaan penting adalah mengapa sejak integrasi Papua, puluhan tahun lalu, masih ada konflik bersenjata yang intens dan mematikan bagi warga sipil dan layanan publik? Mengapa berbagai kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah terus mendapatkan resistensi?

“Artinya ada hal yang harus dilakukan dengan cara lain yakni mulai berdialog mencari gagasan damai terutama untuk melindungi hak hidup masyarakat," terang Anum.

Karena itu, kata Anum, para pihak yang berkonflik mesti duduk bersama guna menghentikan aksi kekerasan yang mengorbankan masyarakat sipil.

Jika para pihak tidak mau berdialog, kata dia, berarti keduanya tidak peduli dengan hak hidup masyarakat sipil; tak bersedia melindungi minoritas yang menjadi korban konflik bersenjata.

Yohanis Mambrasar, advokat dari PAHAM Papua berpendapat, harus ada titik temu pemerintah dan aparat dengan kelompok pro kemerdekaan Papua. "Harus ada penyelesaian secara damai. Titik temunya adalah dialog," ucap dia kepada Tirto.

“Entah dengan format apa, tapi harus ada pembicaraan secara damai dan mengikat para pihak,” kata dia.

Sebab selama ini pihak yang berseteru saling tuduh-menuduh, tak duduk bersama dan membahas upaya lain perdamaian.

*Jeda Kemanusiaan jadi Sia-Sia*

Gencatan senjata menjadi salah satu upaya yang dilakukan demi terciptanya perdamaian di Tanah Cenderawasih -imbasnya, masyarakat pun tak perlu jadi korban konflik. Seperti yang dilakukan oleh Komnas HAM, United Liberation Movement for Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Gereja Papua, di Jenewa, Swiss, menandatangani nota kesepakatan perihal Jeda Kemanusiaan Bersama, pada 11 November 2022.

Yohanis mengatakan penandatanganan “Jeda Kemanusiaan” merupakan jebakan dan tipuan bagi orang Papua. Karena ditandatangani oleh salah satu eks Komisioner Komnas HAM dan sekarang "disanggah" oleh Komnas HAM sendiri.

Hal tersebut, kata Yohanis, lucu. Sebab ketika ada momentum diplomasi Indonesia di dunia internasional, tapi Komnas HAM baru mengklarifikasi soal nota kesepakatan.

“(Penandatanganan) Jeda Kemanusiaan dilakukan oleh mantan komisioner (Komnas HAM) dan mereka tahu itu tidak boleh," sambung dia. "Pemerintah tidak serius, Komnas HAM tidak serius. Ini jebakan saja."

Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya akan terus memantau langsung soal warga terdampak konflik. Misalnya, warga sebuah daerah harus mengungsi karena takut bakal ada baku tembak TNI-Polri dengan TPNPB. Mereka angkat kaki karena tak mau jadi korban.

Perihal penanganan keamanan, Atnike menyatakan, Komnas HAM mengimbau kepada pemerintah agar mengedepankan prinsip kehati-hatian agar tidak ada warga sipil yang menjadi korban jiwa. Kemudian, ihwal Jeda Kemanusiaan Bersama, Atnike menyatakan empat hal.

Inisiasi atas MoU Jeda Kemanusiaan lebih tepat dilakukan oleh pihak yang saat ini terlibat dalam konflik, kata dia. Sehingga Komnas HAM tidak pada posisi untuk melanjutkan kesepakatan yang tertuang dalam MoU Jeda Kemanusiaan.

Proses inisiatif MoU Jeda Kemanusiaan yang dilakukan oleh Komnas HAM periode 2017-2022 tidak selaras dengan prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan di Komnas HAM, kata Atnike.

Komnas HAM tetap terbuka kepada upaya-upaya dialog kemanusiaan untuk mendorong situasi HAM yang lebih kondusif di Papua, sesuai dengan kewenangan, fungsi, dan tugas Komnas HAM.

Komnas HAM terus memberikan perhatian terhadap situasi HAM di Papua sebagaimana situasi HAM di Papua menjadi salah satu isu prioritas Komnas HAM periode 2022-2027, di antaranya seperti persoalan pengungsi, serta pemantauan konflik dan kekerasan.

Apakah nota kesepakatan itu bisa dibilang sia-sia atau tidak berlaku begitu saja?

“Komnas HAM periode ini memandang ada masalah dalam prosedur pembuatan putusan untuk melakukan perjanjian tersebut dan secara substantif, tidaklah tepat Komnas HAM hadir sebagai pihak dalam perjanjian," tutur Atnike kepada Tirto.

Karena Komnas HAM tidak berkonflik dengan masyarakat Papua, itu juga menjadi alasan kesalahan substansial. “Bila Komnas HAM menjadi pihak dalam nota kesepakatan, maka kami tidak bisa berjarak sebagai oversight body, terhadap situasi-situasi di Papua, terhadap upaya dialog yang akan terjadi," lanjut Atnike.

Secara otomatis, 10 Februari 2023 adalah hari terakhir berlakunya Jeda Kemanusiaan Bersama. Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua, Markus Haluk menanggapi hal itu.

“Jeda Kemanusiaan Bersama akan berakhir tanpa kesan apa-apa. Bagi kami nota kesepakatan tersebut menetapkan serangkaian langkah dengan niat tulus dalam menciptakan kondisi yang kondusif, untuk membuka jalan dalam proses damai melalui pemberian jaminan keselamatan dan kekebalan hukum serta kegiatan-kegiatan membangun kepercayaan di antara para pihak," kata Markus kepada Tirto.

Langkah-langkah kepercayaan diri ini di antaranya pemberhentian permusuhan secara bersyarat, penanganan masalah-masalah HAM, bantuan terhadap situasi kemanusiaan pengungsi dan tahanan politik Papua, pelibatan aktor dalam proses penjajakan, dan upaya sosialisasi demi mendorong proses damai.

“Kini kami sangat kecewa karena meskipun upaya dan kepatuhan kami terhadap nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama sangat konsisten, sayangnya Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait di dalam pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen apa pun terhadap kesepakatan ini," aku Markus.

Alasan sebenarnya Jeda Kemanusiaan ini belum dilaksanakan adalah kurangnya keseriusan dan ketulusan dari pemerintah Indonesia, yang terlihat jelas dengan tidak adanya implementasi atau tindak lanjut sedikitpun dari komitmen-komitmen mereka.

*Damai, Kok Coba-Coba?*

Jeda Kemanusiaan Bersama seolah menjadi penerapan metode coba-coba (trial and error). Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adriana Elisabeth berkata, tidak bisa coba-coba untuk merampungkan konflik Papua. Mesti ada pihak khusus yang merancang proses penyelesaian.

“Kalau trial and error terus, (konflik) tak akan pernah selesai. Harus tegas. Ada tim khusus yang dibentuk untuk merancang manajemen konflik di Papua," terang dia kepada Tirto.

Ia menambahkan, “Tugas manajemen konflik yang pertama adalah menghilangkan aspek kekerasan. Jangan ada tembak-menembak, masyarakat jadi korban.”

Metode coba-coba bakal berdampak kepada warga Papua. "Pasti," tegas Adriana.

Karena yang difokuskan selama ini adalah kejadian yang membuat publik tahu lebih banyak tentang Papua. Penyanderaan, misalnya. Publik hanya tahu "sebatas" penyanderaan saja, padahal penyanderaan itu berbasis kepada konflik. "Konfliknya itu tidak selesai."

( Sumber :tirto.id )

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top