Penulis: Mr. Lucky Cp☆
Undang -undang No.21 Tahun 2001 yang menjadi payung hukum pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Ternyata didalamnya ke-tidakkonsistenan pemerintah untuk menetapkan organisasi Papua sebagai prioritas utama. Ada pasal pasal yang punya misi bertolak belakang dan niat tidak jujur dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua. Misal nya, pasal 38 ayat 1 dan 2 UU No. 21 tahun 2001 saling bertolak belakang.
Pada pasal 38 ayat 1 berbunyi " perekonomian provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip prinsip keadilan dan pemerataan." Pernyataan dalam ayat 1 tak memuat spesifik rakyat Papua yang dimaksud adalah penduduk asli Papua. Ini penting untuk mempertegas posisi status otonomi khusus yang diberikan kepada penduduk asli Papua, yang terpinggirkan dan menjadi korban ketidakadilan.
Kemudian, dalam pasal 38 ayat 2 dinyatakan, "usaha usaha perekonomian diprovinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, Serta pengaturan nya ditetapkan dengan Perdasus." Pernyataan ini memuat dua sisi lain yang saling bertolak belakang. Pernyataan menghormati hak-hak masyarakat adat dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, seakan-akan membenturkan dua sisi yang berlainan. Masyarakat adat yang juga butuh jaminan kepastian hukum dinyatakan dalam bagian tersebut. Ayat ini menegaskan posisi pengusaha, yang mendorong marjinalisasi penduduk asli Papua semakin diperkuat, dan sebaliknya mengabaikan hak masyarakat adat yang juga membutuhkan kepastian hukum, dihormati tapi untuk melegalkan eksploitasi tanah dan sumber daya alam yang dimiliki orang asli Papua.
Hal yang sama dirumuskan kembali'pada pasal 42-44 dimana penekanan hanya pada penghormatan terhadap hak hak adat, sedangkan tanah sebagai modal dasar investasi masyarakat adat tidak disinggung sama sekali dan masyarakat adat ( masyarakat Asli Papua ) hanya diakui kepemilikan tanah, tanpa ada usaha pemerintah mengubah hak atas tanah menjadi modal investasi awal dalam bentuk kepemilikan saham atas modal tanah.
Coba kita renungkan bunyi undang undang pokok agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 5 " hukum Agraria yang berlaku atas, bumi,air dan ruang angkasa ialah hukum Adat". Dalam hukum negara, tanah dan sebagainya mutlak milik adat Jika masih ada masyarakat Adat nya. Bagaimana pemerintah mengubah nya menjadi nilai yang memberi dampak pada kesejahteraan rakyat nya tanpa menjual melainkan tetap menjadi modal investasi turun temurun dari masyarakat adat, yang ada di seluruh tanah air Papua.
Kemudian, ketika realisasi anggaran Otsus, peredaran uang (anggaran) di-papua justru lebih kecil, tak sampai 5%. Sebanyak 95% dana dalam APBD untuk tetap digunakan di-papua kurang dari lima persen. Ini terlihat dengan berkembang nya sektor perkembangan di berbagai kabupaten di provinsi Papua, sedangkan sektor industri tidak berkembang.
Pertumbuhan pada sektor ekonomi tanpa tambang terjadi pada sektor pertanian. Namun hasil pertanian ini hanya dikonsumsi sendiri dan tidak ada perubahan nilainya. Kata lain, sektor perdagangan di Papua Tumbuh berkembang bukan karena hasil pertanian di Papua yang diekspor keluar, melainkan hasil industri daerah lain masuk ke Papua.
Salam
Obn.04/02/2023