PENDEKATAN KEAMANAN DI INTAN JAYA LAHIRKAN PELANGGARAN HAK HIDUP DAN GELOMBANG PENGUNGSIAN

0

 Siaran Pers

Nomor : 02/SP-LBH-Papua/II/2020

PENDEKATAN KEAMANAN DI INTAN JAYA LAHIRKAN PELANGGARAN HAK HIDUP DAN GELOMBANG PENGUNGSIAN

Direktur LBH Papua

“Komnas HAM RI Segera Turun Melakukan Investigasi Atas Dugaan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Intan Jaya

Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat (3), UUD 1945. Dengan demikian maka seluruh tindakan yang dilakukan oleh Negara melalui pemerintah dalam segala bidang wajib dilakukan berdasar hukum. Secara khusus berkaitan dengan  pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI secara tegas diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. 

Berkaitan dengan Pengerahan secara teknis Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden. (2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 17, UU No 34/2004). Apabila Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI. Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI ini, dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan, Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut (Pasal 18, UU No 34/2004). Sementara itu, berkaitan dengan Penggunaan secara teknis Tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada pada Panglima TNI. Dalam hal penggunaan kekuatan, Panglima bertanggung jawab kepada Presiden. (Pasal 19, UU No 34/2004). Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer untuk perang, dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait penggunaan kekuatan TNI dalam rangka tugas perdamaian dunia dilakukan sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia dan ketentuan hukum nasional (Pasal 20, UU No 34/2004).

Pada prinsipnya dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2), Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 Tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bawah dalam mengimpelementasikan ketentuan “Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer untuk perang, dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan” wajib diberlakukan mengunakan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Masyarakat Pengungsian Di Intan Jaya

Dengan berdasarkan pada ketentuan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI diatas secara langsung melahirkan pertanyaan apakah dalam implementasi pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI di wilayah kabupaten Intan Jaya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ?. Berdasarkan fakta sampai saat ini Presiden Republik Indonesia belum perna mengeluarkan keputusan pengerahan kekuatan bahkan sampai saat ini DPR RI belum perna mengeluarkan persetujuan terkait pengerahan kekuatan. Atas dasar itu sudah menunjukan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI di wilayah kabupaten Intan Jaya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Diatas kenyataan ketidakjelasan kebijakan pengunaan dan pengerahan kekuatan keamanan itu, pada pada prakteknya di Kabupaten Intan Jaya pengunaan dan pengerahan kekuatan keamanan terus terjadi sejak tahun 2019, tahun 2020 dan tahun 2021. Atas tindakan pengunaan dan pengerahan kekuatan keamanan itu telah melahirkan pelanggaran hak asasi manusia milik masyarakat sipil sebagaimana terlihat dalam kasus pelanggaran hak hidup dan gelombang pengungsian. 

Dari sekian pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat sipil di Kabupaten Intan Jaya ditahun 2021 salah satunya sebagaimana terlihat dalam pernyataan Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni memastikan bahwa tiga orang pria yang tewas di Puskesmas Sugapa pada hari senin, 15 Februari 2021 lalu bukan anggota KKSB. Ketiga korban tersebut menurut Bupati Natalis Tabuni merupakan warga sipil (Baca : https://www.ceposonline.com/2021/02/19/bupati-natalis-akui-3-warga-yang-tewas-bukan-kksb/). Dengan mendasarkan pada pernyataan bupati intan jaya tersebut secara langsung membantah semua keterangan-keterangan yang sebelumnya disebutkan oleh Kapen Kogabwilhan III Kolonel CZI IGN Suriastawa.  

Untuk diketahui bahwa sebelumnya Kapen Kogabwilhan III Kolonel CZI IGN Suriastawa mengatakan bahwa "Saat ini masih dilaksanakan pengejaran oleh tim yang ada di lapangan berujung pada terjadinya peristiwa naas pada tanggal 15 Februari 2021 dimana Janius Bagau ditembak oleh oknum anggota Satgas Yonif Raider 400/Banteng Raiders, asal Yonif 406 Brigif 4 di bawah Kodam IV/Diponegoro dan mengakibatkan luka tembakan di bagian tangan akibat tembakan itu. Beberapa waktu kemudian, diperoleh informasi dari warga adanya satu orang warga dengan luka tembak (diduga KKS) dibawa ke Puskesmas oleh Kepastoran Gereja Katolik Bilogai, dan beberapa orang masyarakat lainnya. Setelah dilakukan pengecekan dan dicocokkan dengan KTP yang didapatkan saat pemeriksaan, dipastikan orang tersebut adalah Janius Bagau salah satu anggota KKSB yang sering melakukan aksi teror di Sugapa dan menjadi salah satu penandatangan surat pernyataan perang kepada TNI Polri beberapa waktu yang lalu. Saat mendapatkan perawatan di Puskesmas Sugapa, Janius Bagau didatangi oleh dua orang rekannya. Ketiganya berusaha melarikan diri, menyerang dan berusaha merampas senjata dari aparat gabungan TNI-Polri yang berjaga di Puskesmas. Dengan sigap aparat melumpuhkan ketiga orang itu hingga tewas (Baca : https://daerah.sindonews.com/read/337202/174/3-kksb-di-intan-jaya-ditembak-mati-ini-klaim-tpnpb-opm-1613480539).

Berdasarkan uraian itu sudah dapat disimpulkan bahwa tindakan melumpuhkan Janius Bagau, Justinus Bagau dan Soni Bagau yang adalah masyarakat sipil hingga tewas oleh oknum anggota Satgas Yonif Raider 400/Banteng Raiders, asal Yonif 406 Brigif 4 di bawah Kodam IV/Diponegoro merupakan bagian langsung dari pelanggaran ketentuan terkait Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana dijamin pada pasal 28A UUD 1945 junto Pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Terlepas dari itu, Pasca penembakan Prada Ginanjar Arianda anggota Satgas Yonif Raider 400/BR, Tim TNI melakukan pengejaran pelaku penembakan berdampak pada terjadinya gelombang pengungsian. Berdasarkan pemberitaan, keuskupan Timika sejak 13 Februari 2021 telah mengeluarkan surat permohonan bantuan yang ditujukan kepada pastor paroki, dewan paroki, dan umat paroki. Dalam surat yang ditandatangani oleh Administator Diosesan Keuskupan Timika, P Marthen Kuayo, dijelaskan bahwa akibat konflik bersenjata di Intan Jaya, masyarakat merasa ketakutan dan memilih mengungsi di Kompleks Pastoran Gereja Katolik Santo Mikael Bilogai. Lebih lanjut P Marthen Kuayo  menjelaskan bahwa jumlah "Pengungsi tambah dari Mamba, dari (sebelumnya) 600 orang lalu tambah dari Mamba sekitar 400-500 orang, jadi sekarang sudah sekitar seribu orang," ujar Adminstator Diosesan Keuskupan Timika, P Marthen Kuayo, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (16/2/2021). Para pengungsi dari Kampung Mamba, sambung Marthen, dijemput langsung oleh Pastor Yustinus Rahangiar seusai terjadi kontak senjata yang menewaskan Prada Ginanjar (Baca : https://regional.kompas.com/read/2021/02/17/14425371/1000-an-warga-intan-jaya-mengungsi-ini-tanggapan-pemprov-papua?page=all). 

Melalui fakta adanya pengungsian diatas secara langsung menunjukan bahwa akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri VS TPN-PB di wilayah kabupaten intan jaya telah melahirkan pelanggaran ketentuan terkait “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” sebagaimana dijamin pada pasal 28G ayat (1), UUD 1945 serta pelanggaran ketentuan terkait “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” sebagaimana dijamin pada pasal 30, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Diatas semua peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masyarakat sipil di Kabupaten Intan Jaya yang terjadi diatas ketidakjelasan kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI di wilayah kabupaten Intan Jaya sesuai dengan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia itu, 2 (dua) tahun sebelumnya tepatnya pada tanggal 26 Desember 2019, Tentara Nasional Indonesia dan PT Freeport Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) dalam hal pengamanan wilayah dan kegiatan perusahaan tambang itu di Timika, Papua. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Clayton Allen Wenas bertempat di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Panglima TNI mengatakan PT Freeport Indonesia dikategorikan sebagai obyek vital nasional yang bersifat strategis. Menurutnya, lokasi usaha tambang PT Freeport Indonesia berada di daerah sangat terpencil, sulit dan unik di Timika. "Di samping itu terdapat ancaman Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan gangguan keamanan yang bereskalasi rawan serta bersifat fluktuatif. Oleh karenanya, diperlukan koordinasi pengamanan secara terpadu dan sinergi antara TNI dan PT Freeport Indonesia." Sesuai dengan Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004, kata dia, TNI adalah alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melaksanakan tugas pokok melalui Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). OMSP ini salah satunya dengan mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis. Lebih lanjut, Panglima TNI mengatakan dengan adanya MoU di bidang pengamanan ini, maka TNI akan dapat mengoptimalkan satuan TNI yang terdekat dengan lokasi PT Freeport seperti satuan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III yang baru terbentuk, yang juga meliputi wilayah operasional PT Freeport Indonesia (Baca : https://bisnis.tempo.co/read/1288231/tni-dan-pt-freeport-indonesia-teken-mou-soal-keamanan/full&view=ok).

Pada prinsipnya Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (1), UUD 1945 junto Pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan berdasarkan pada fakta pelanggaran hak hidup dan pengungsian yang terjadi di wilayah intan jaya jelas-jelas telah menunjukan fakta “tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan dan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sebagaimana diatur pada Pasal 9 huruf a dan huruf d, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.  

Berdasarkan pada ketentuan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) mengunakan hak yang diberikan berdasarkan Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tegas menyampaikan kepada :

1. Presiden Republik Indonesia Cq Gubernur Propinsi Papua Cq Bupati Kabupaten Intan Jaya wajib menjalankan perintah Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999) di Kabupaten Intan Jaya;

2. Presiden Republik Indonesia selaku atasan dari panglima TNI sesuai Pasal 2 ayat (2), Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 segera menghentikan pendekatan keamanan di Intan Jaya demi menjamin HAM warga Negara sesuai perintah pasal 28I ayat (1), UUD 1945 junto Pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

3. Komnas HAM RI segera melakukan investigasi atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur pada Pasal 9 huruf a dan huruf d, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya; 

4. PT. Freeport Indonesia segera tinjau ulang Nota Kesepahaman (MoU) dengan TNI dalam hal pengamanan wilayah dan kegiatan perusahaan tambang di Timika tertanggal 26 Desember 2019 yang dijalankan oleh satuan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III telah berdampak pada pelanggaran Hak Hidup dan Gelombang Pengungsian.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih. 


Jayapura, 28 Februari 2021

Hormat Kami

Lembaga Bantuan Hukum Papua



Emanuel Gobay, S.H., MH

(Direktur)


Narahubung :

082199507613

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top