Awan kelabu
tampak berarak menuju barat. Sang mentari pun sudah mulai bergerak tenggelam di
ujung
ufuk timur.
Senja berbalut mega merona itu masih membuat Mahgdalena masih sadarkan diri,
untuk
menatap
lautan lepas Samudra Hindia yang terbentang luas, seluas mata memandang.
Tatapan tak
berujung di tepi Pantai Tapak Paderi, titik nol Negeri Bengkulu menjadi khayal
yang tak
pernaah
tahu, di mana ujungnya hamparan air asin dengan ombak menderu menggugah asa
itu.
Ingatannya
hanya tahu, kalau di ujung dunia itu hanya terdapat Negeri China, seperti
ceritera orang
tua, saat
dirinya masih kecil. Sama dengan gundah gulana pikiran dan perasaannya selama
empat tahun
terakhir.
Masa pengujian kesabaran akan penantian seorang pujaan hati, yang sempat
berlabuh dam
melemparkan
sauh cinta di hatinya.
Kehidupan
Mahgdalena sempat dipayungi oleh pujaan hatinya itu. Hembusan angin sepoi-sepoi
terbiasa
menggurai
rambut di balik jilbab putihnya yang keluar dihembus angin. Hanya angin dan
paparan lautan
luas yang
kerap menemani hari-harinya.
Tapak
Paderi, titik nol Negeri Bengkulu yang tersebut dalam peta kuno abad 16 Masehi,
memang membuat
kenangan
indah buat Mahgdalena. Apalagi tempat tinggalnya tidak jauh dari tempat
memandang mentari
senja, saat
akan berangsur meninggalkan siang.
Saat malam
mulai menjelang dan terkadang cahaya bulan bertaburnya gemerlap bintang, akan
selalu ada
cerita
khayal lain menggugah asa yang belum tiba. Tetesan air mata mulai membasahi
membasahi bantal
kapuk tanpa
sarung miliknya.
“Ya Tuhan
Penguasa Alam dam Maha Penentu, kian lelah hati hamba Mu, saat takdirku belum
menjemput.
Tolonglah
aku yang zhalim ini Tuhan”, sebait doa acap terucap saat malam menjelang.
Saat
keesokan harinya, keindahan Tapak paderi yang dibayangi bangunan kuno Fort
Malborough,
peninggalan
Inggris yang didirikan East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah
pimpinan
gubernur
Joseph Callet, sebagai benteng pertahanan Inggris, kembali menjadi pandangan
mata menggugah
asa.
Pernah
terlintas di benak Mahgdalena, untuk mengubur semua kenangan terkisah ini
dalam-dalam kedasar
laut. Tapi
tak semudah membalikan telapak tangan. Kenangan itu selalu datang bersama
cerita indah
dalam khayal
kesucian bersama ketulusan cinta,
Buku harian
dan selembar foto 2×4 selalu ikut sebagai pengingat kenangan. Tiap sisi buku
hariannya
tertulis
nama Aleksi Pernanya. Mungkin ini juga yang membuat kenangan itu selalu ada di
ingatannya.
“Sebelumnya,
dahulu sebelum kutinggalkan sosok lain yang kupuya, Aku tak begini. Tapi kini
kok kayak
gini ya”,
renung Mahgdalian sesaat usai melihat buku hariannya tinggal tersisa dua lembar
lagi yang
dapat
ditulis.
Kecamuk
kenangan tampak kian membawa jiwa wanita cantik berkulit kuning langsat ini
berguncang. Dalam
catatan
terakhirnya tertulis ungkapan dengan beberapa tetesan air mata.
“Sebelunya,
semua ini telah aku duga, bakal ada perpisahan dan tak akan ada ikatan dalam
kesucian
cinta. Tapi
saat itu aku juga lupa. Aku kira hujan akau berlalu hingga petang, tak tahunya
hujan
berhenti di
tengah hari”.
Teringat
janji Aleksi Pernanya, Sang pujaan hati yang tak kunjung datang kembali
menghampiri janji
yang sempat
terucap, kalau dia akan segera kembali setelah menunaikan kewajiban diri dan
akan datang
bersama
sirih pinang bertanda pinangan.
Ooooh
Tuhaaaan Yang Maha Tahu, jadikanlah rasaku menjadi rasanya juga Tuhan!”, teriak
Mahgdalena dari
balik bilik
kamar yang kini tanpa pendingin ruangan lagi.
Untuk dandan
dan kebuthan sehari-hari, hingga kini masih dilakukan Maghdalena, meskipun
dalam kondisi
ekonomi yang
kian carutmarut. Kebiasaan berada senja di tepi Pantai Tapak Paderi, kini hanya
kacang
rebus yang
mampu dikunyahnya.
Saat menduga
dalammnya lautan yang ada di hadapannya, sobekan surat kabar melayang dan
nemplok di
dadanya.
Semula surat kabat itu akan dibuangnya. Tapi itu urung dilakukan Mahgdalena,
setelah
terpampang
foto pujaan hantinya sebelum Aleksi Pernanya singgah.
“Ah ini
lagi…”, ucap Maghdalian melihat mantannya kini terpenjara. Tak tampak rasa
rindu terhadap
Sang mantan,
meskipun kebahagian pernah dikecapnya bersama sama dulu.