Terik berlalu berganti senja, senja pergi menyisakan malam. Getar hatiku
menggelegar karena kerinduan kepadamu wahai ayahku, kumasuki bekas ruang
peribaan tempat dahulu kau membaca sesuatu lalu memintaku untuk di sisimu dan
bercerita saling tukar pikiran.
Peristiwa penuh hikmah, nasihat demi nasihat yang kau tuturkan sebisa mungkin tak akan aku lupakan. Aku ingat, ada surat yang termaktub di atas kertas sederhanamu, suratmu untukku dan untuk beberapa saudaraku, ku perhatikan wajah surat, perlahan kuungkap tepinya, wajahmu terbayang, sambil kubaca, kurasakan kehadiratmu;
Peristiwa penuh hikmah, nasihat demi nasihat yang kau tuturkan sebisa mungkin tak akan aku lupakan. Aku ingat, ada surat yang termaktub di atas kertas sederhanamu, suratmu untukku dan untuk beberapa saudaraku, ku perhatikan wajah surat, perlahan kuungkap tepinya, wajahmu terbayang, sambil kubaca, kurasakan kehadiratmu;
“Aku
tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum
kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang
laki-laki; surat seorang ayah kepada seorang anak.
Nak,
menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku saat menanti kelahiranmu
dulu, belumlah hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari
oleh sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang
dicintai belum sekalipun kutemui.
Nak,
menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah
betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan
anak-anaknya.
Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit.
Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui
keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu.
Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku
banggakan di depan siapapun. Bahkan di hadapan Allah, ketika aku duduk berduaan
berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senjaku ini.
Nak,
saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan
ibumu. Sebagai bukti, bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.
Tapi
seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK",
timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik
ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah
milik Allah. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu
semata-mata seharusnya hanya untuk Allah.
Nak,
sedih, pedih dan terhempaskan rasanya kala menyadari siapa sebenarnya aku dan
siapa engkau. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku
itu sepenuh -penuh air mata di hadapan Allah. Syukurlah, penyesalan itu
mencerahkanku.
Sejak
saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang
sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan Pemilikmu.
Melakukan segala sesuatu karena Nya, bukan karena kau, aku dan ibumu. Tugasku
bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai
Allah.
Inilah
usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh
kepadamu dekat dengan Allah. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan
keinginan Allah. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit.
Kemudian,
kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari
kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku Cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan
jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan ruhaniah yang
sebenarnya.
Saat
engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh
berhenti. Perjalanan mengenal Allah tak kenal letih dan berhenti, Nak. Berhenti
berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu,
ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya
Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah, dan
kudapati jarakku amat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku
di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu
dekat dengan Allah. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua
titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya.
Dari
ayah yang senantiasa merindukan anaknya..”
Derai
air mata membasahi pipiku, suara lantang ayah yang dahulu sering kudengar kini
berganti dengan bisik makna yang tersirat melalui kata, kata yang hampir tak
bersuara namun menggetarkan jiwa. Perlahan kututup surat itu, ku merenung
sejenak, mataku terbelalak karena kejutan hikmah yang baru kusadari. Aku hidup
berkat Allah melalui ayah dan untuk Allah, aku berjanji padamu ayah, aku akan
menjaga namamu sampai aku keluar dari himpitan dunia ini serta menemuimu di
alam keabadian yang penuh dengan kebahagiaan.