Filipi
2: 4
“…dan
janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi
kepentingan orang lain juga.”
Ketel
teh tuaku akhirnya tamat riwayatnya. Aku berjalan ke dapur suatu pagi dan
menemukan air sudah tumpah di atas kompor. Itu adalah bunyi siulannya yang
terakhir. Tapi aku tahu satu hal, aku tak mau mengganti ketel tehku dengan tipe
listrik.
Dengan
semua jenis benda listrik, TV dan bahkan komputer yang ada di dapur, aku
bertekad untuk menyimpan setidaknya satu hal, sebuah era yang lebih lambat,
lebih kuat, dan tidak rumit yaitu ketel teh sederhana di atas kompor.
Hanya
ada satu masalah, suamimu lebih memilih hal yang praktis.
Dalam
sebuah kunjungan ke rumah saudara perempuannya, dia pulang ke rumah sambil
mengoceh tentang ceret listrik.
“Mereka
menghemat setengah waktu merebus dan tidak membuat seluruh ruang dapur panas!”
Karena
kami tinggal di Florida, dia pikir hal ini bisa sangat baik.
Tapi
aku tak bisa dibujuk. Aku lebih baik mati karena kepanasan daripada harus
memakai benda listrik itu.
Karena
aku belum menemukan ketel yang aku inginkan, aku mulai memakai panci kecil.
Sepertinya butuh waktu lama supaya air dalam panci mendidih. Semakin lama
situasinya berlangsung, semakin aku merasa frustrasi. Kenapa aku tak bisa
menemukan ketel yang aku mau?
Lalu
Filipi 2: 4 tiba-tiba terngiang dibenakku. “…dan janganlah tiap-tiap orang
hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain
juga.”
Aku
mulai sadar kalau ketel yang aku sukai harus seperti yang suamiku inginkan.
Bukankah begitu seharusnya cinta bekerja? Dan bukankah begitu cara kerjanya
saat kita pertama kali menikah? Kami benar-benar setuju dengan semua keinginan
masing-masing, bukan karena kami benar-benar menginginkannya sendiri, tapi
karena kami saling mengasihi.
Aku
menyadari kalau ini adalah kesempatan untuk memberikan suamiku hadiah yang dia
sering berikan kepadaku, hadiah yang diinginkan orang lain.
Di
sabtu berikutnya, aku berkata, “Kau tahu apa? Aku pikir kita perlu ketel teh
listrik. Kamu mau membantuku untuk memilih satu?”
Aku
berharap kamu bisa menyaksikan ekspresi suamiku saat mendengarku mengatakan hal
itu. Dia bahkan hampir melompat dari tempat tidur.
Tapi
ternyata Tuhan sudah menunggu supaya aku mengalami perubahan hati untuk
memberiku sesuatu yang lebih dari sekadar teko teh.
Kami
segera menemukan satu teko yang kami sukai. Aku pun bersedia membayar lebih
untuk itu. Suamiku tiba-tiba menggenggam tanganku dan menggandengku dengan
penuh semangat melalui toko menuju peralatan dapur.
Dari
raut wajahnya, dia seolah-olah hendak berkata,” Inilah istriku dan aku
mencintainya. Dia sangat peduli tentang setiap detail kehidupanku, bahkan ceret
teh sekalipun.”
Ya,
aku akan bersedia membayar mahal untuk hadiah tak ternilai yang akan aku
berikan.
Saat
aku mulai mencoba memakai teko listrik itu, akulah yang malahan yang kerap
memuji seberapa cepatnya air mendidih. Seandainya aku tahu tentang informasi
ini lebih awal, aku pasti sudah membeli teko itu setahun yang lalu.
Tapi
aku memilih bersyukur karena Tuhan sangat mengasihi kita. Kadang, kita tahu apa
yang kita rindukan dengan menginginkan apa yang kita inginkan. Kita berpikir
kalau apa yang kita inginkan adalah pilihan terbaik dan hal itu akan membuat
semuanya menjadi lebih baik dan benar. Tapi seringkali pilihan kita benar-benar
berkurang. Aku sangat bersyukur Tuhan tidak mengijinkanku untuk me
Sekarang
saat aku menuangkan secangkir teh lagi dan mengatur ketel kembali ke tempatnya,
aku tahu aku selalu ingin memberi nerima apa yang aku pikir inginkan.
ruang
di meja kehidupanku untuk apa yang Tuhan mau taruh di sana, sebuah berkat luar
biasa yang mungkin ku tolak.
Tuhan
Yesus Memberkati