Foto:John NR Gobai DPR Papua |
Oleh:John NR Gobai DPR Papua
*Pengantar*
Pasca reformasi, dilakukan amandemen UUD 1945, pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat, diatur dalam UUD Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Soni Keraf, dalam Bukunya Etika Sosial, Sikap moral masyarakat adat bukan hanya menyangkut hubungannya dengan sesama namun berhubungan dengan alam. Jadi dapat dikatakan bahwa berbagai bencana alam merupakan hasil sikap batin manusia yang tidak baik terhadap alam. Benar bahwa dikatakan jika masyarakat adat merupakan masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan alam. Mereka menjaga keadaan lingkungannya dengan berhubungan baik dengan tanaman, binatang, sungai, gunung, laut danau dan sebagainya. Menjaga sikap moral bukan hanya dengan sesama manusia melainkan juga menjaga moral yang baik terhadap lingkungan. Apa yang dilakukan manusia terhadap alam tentunya akan menentukan nasib manusia itu sendiri. Dalam kaitan dengan itu biasa dibuat dengan adanya Sasi Adat,dll untuk diperlukan adanya perlindungan nelayan masyarakat adat papua agar nilai nilai adat juga dapat di akui,dalam pengelolaannya.
*Nelayan Masyarakat Adat Papua*
Dalam merumuskan regulasi di Propinsi Papua, agar mudah dipahami, perlu dikemukakan beberapa pengertian seperti yang disebutkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan Petambak Garam, Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Menurut UU no 21 Tahun 2001, Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
Menurut Permendagri No 52 Tahun 2014, Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
*Dasar regulasi*
Dengan uraian tersebut diatas,terkait dengan nelayan di Papua, jika pengertian masyarakat adat papua dan nelayan tradisional disandingkan, maka dapatlah ditarik benang merah kesamaannya, antara Nelayan Tradisonal dan Masyarakat Adat, dalam konteks ini adalah Nelayan Masyarakat Adat Papua, mempunyai kesamaan makna, sehingga dalam regulasi ini digunakan istilah Nelayan Masyarakat Adat Papua.
Terkait kedudukan masyarakat hukum adat maka Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil pada pasal 21 ayat (4) huruf b secara tegas menyebutkan : “mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat lokal”
UU No 1 tahun 2014 tentang Perubahan UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Pasal 21 (1) Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada
wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat
Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat
Hukum Adat setempat.
(2) Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan nasional
dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam UU No 23 tahun 2014 diatur bahwa wilayah pesisir 12 Mill dari titik garis pantai saat air surut adalah kewenangan Provinsi.
*Masalah dan Solusi*
Kebijakan pemerintah yang memberi izin kepada para pengusaha tetapi kurang memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat terutama yang hidup di wilayah pesisir maka sudah tentu berdampak bagi kehidupan masyarakat hukum adat dan akhirnya mereka hidup dalam suasana ketidakpastian.
Dalam eksplorasi diwilayah kelautan di Papua terdapat cara penangkapan ikan, yang dalam istilah local di Papua, disebut dengan nama Bagan/Rompong yang dilakukan oleh nelayan non papua, kadang juga mengambil ikan dalam jumlah banyak yang kemudian dapat juga mengganggu pencarian nelayan masyarakat adat papua, ketika tangkapan pemilik bagan banyak sementara nelayan masyarakat adat papua, kurang hal ini menimbulkan kecemburuan. Ketika hasil tangkapan nelayan yang menggunakan bagan tersedia sementara nelayan masyarakat adat papua tidak tersedia ini jelas merugikan nelayan masyarakat adat papua, sementara nelayan mayarakat adat papua belum terbiasa mencari ikan dengan menggunakan bagan/rompong.
Dengan system pencarian ikan menggunakan bagan/rompong ini juga patut diduga dapat mengurangi jumlah ikan karena system pencarian yang tidak memperhatikan kearifan local masyarakat adat papua. Hal ini adalah satu kondisi yang juga memerlukan sebuah pengaturan dan kesepakatan tentang masih perlukah bagan/rompong di wilayah pesisir laut Papua terkait dengan ketersediaan ikan di Papua.
Terkait dengan zona mencari ikan juga menyimpan satu masalah tesendiri, hal itu terjadi karena daerah pencarian ikan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat adat papua, kini pencarian juga dilakukan oleh masyarakat lain, dengan membayar kepada perorangan dalam bentuk uang bulanan bukan berupa iuran kepada Suku pemilik wilayah adat dan juga tanpa membayar kepada pemilik wilayah adat.
Kondisi ini juga sering menciptakan konflik antar nelayan papua dengan nelayan non papua, seperti yang terjadi di Pomako, Mimika Pada tanggal 1 Agustus 2017. Kasus Pomako ini telah mendorong kami untuk mengusulkan sebuah regulasi daerah yang intinya perlindungan nelayan masyarakat adat papua.
Menurut kami pengaturan dalam Pasal 21 UU No 1 tahun 2014 haruslah diakui oleh Pemerintah dan swasta agar tidak masuk dan menggaunggu zona mencari masyarakat sehingga kewenangan pengelolaan ruang laut untuk Provinsi sejauh 12 Mill dari garis pantai saat air laut surut haruslah dibagi ruang mana untuk ruang khusus masyarakat adat papua dan mana yang untuk umum bersama masyarakat adat Papua.
*Penutup*
Dalam Adat Papua, sejak turun temurun telah dikenal adanya ruang laut, tempat mencari ikan masyarakat adat dalam wilayahnya masing masing, antara satu suku dengan suku lainnya, hal itu diakui secara turun temurun oleh sesama suku, jika saling dimasuki oleh masyarakat adat dari wilayah adat lain, maka akan terjadi konflik, namun dalam kenyataan saat ini pengelolaan laut di Papua, milik Masyarakat adat Papua belum diatur dalam regulasi oleh karena itu masyarakat adat yang bekerja sebagai nelayan terkadang tersingkir karena ruang mereka mencari ikan dikuasai oleh nelayan non papua, seperti yang terjadi di Jayapura, Mimika, Merauke, Sarmi dan Nabire, maka pada tahun 2018 kami telah mengusulkan Raperdasi kepada DPRP dan telah dibahas dan ditetapkan, telah dievaluasi oleh Kemendagri dan sedang menunggu no register dan penomoran terhadap *Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Masyarakat Adat Papua di Propinsi Papua*