Hindari perang tak beraturan: Rencana operasi pembebasan sandera kapten Pilot Susi Air Paro Nduga

0

Hindari perang tak beraturan. 

Rencana operasi pembebasan sandera kapten Pilot Susi Air, Philips Max Mehrtens  di Paro, Nduga, West Papua, telah dipersiapkan matang; Mulai dari pra kondisi, Pemutusan jaringan internet di beberapa titik hingga pengiriman pasukan. 

Info terakhir dari lapangan, sebagian pasukan telah di drop dari Timika menuju Kenyam, sebagian di drop langsung menuju distrik Paro.

Sebelumnya, tukang pembu*l, Mahfud MD, dalam wawancaranya telah menjelaskan terkait rencana operasi tersebut, tidak ada kompromi atau negosiasi. Tentu sikap tegas pemerintah tidak akan menjawab tuntutan Tentara Pembebasan nasional Papua [TPNPB]. 

Begitu juga sebaliknya. Egianus Kogoya, dalam pernyataannya melalui foto dan Video yang dirilis beberapa waktu lalu mengatakan, "jika Indonesia tidak mendengar tuntutan kami maka saya akan membawa pilot ini sampai Papua merdeka”.  

Disini tidak ada yang mampu menghentikan perang. Kedua belah pihak mempertahankan posisinya masing-masing. Tentu sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak akan mengarah pada "Perang tak beraturan" yang akan berdampak buruk.

Sejarah telah mencatat pengalaman buruk yang terjadi saat operasi pembebasan Sandera di Mapenduma, pada tahun 1995. Kebiadaban TNI-Polri dibantu Palang merah internasional IRC memporak-porandakan wilayah operasi, ratusan bahkan ribuan nyawa hilang, rumah, ternak, serta harta karun milik masyarakat sipil di bumi hanguskan. 

Ini adalah sejarah penderitaan pahit yang tidak akan pernah terlupakan dalam generasi saat ini di asal Ndugama, terlebih khusus Panglima Kodap III, Eguanus kogoya yang mana merupakan anak Kandung dari Silas Kogoya yang pernah terlibat langsung dalam penyanderaan Mapenduma.

Tentu kita tidak ingin sejarah biadab ini terulang kembali dalam operasi pembebasan Pilot Susi Air, Philips Max Mehrtens. Tentu kita semua tidak menginginkan korban terus berjatuhan akibat perang antara TNI/Polri dan Tentara pembebasan Nasional (TPNPB) yang tidak berjalan sesuai Hukum Humaniter. 

Untuk menghindar dari kekacauan ini, kedua belah pihak: Peserta Agung, wajib tunduk dibawah hukum humaniter Internasional.  

Dan secara khusus Indonesia wajib menjalankanya sesuai UU RI Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949 Presiden Republik Indonesia wajib menjalankannya. (Ukc/Jefry Wenda)

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top