PEMEKARAN 6 PROVINSI BONEKA DI PAPUA UNTUK MEMPERLUAS KOLONIALISME DENGAN 6 KODAM, 6 POLDA, 35 KODIM, 35 POLRES, 10 KOREM: TANAH PAPUA MENJADI RUMAH MILITER DAN KEPOLISIAN KOLONIAL INDONESIA

0

PEMEKARAN 6 PROVINSI BONEKA DI PAPUA UNTUK MEMPERLUAS KOLONIALISME DENGAN 6 KODAM, 6 POLDA, 35 KODIM, 35 POLRES, 10 KOREM: TANAH PAPUA MENJADI RUMAH MILITER DAN KEPOLISIAN KOLONIAL INDONESIA


```( 6 Provinsi, 6 Kodam, 6 Polda, 35 Kodim, 35 Polres, 10 Korem perlu tanah atau lokasi luas, maka terjadi perampokkan, perampasan Tanah Orang Asli Papua, otomatis OAP tersingkir dan musnah dari Tanah Pusaka dan Leluhur mereka. Ini TRAGEDI kemanusiaan dalam sejarah di era modern.)


Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA


"SEPERTI NABI BERSERU-BERSERU DI PADANG BERSERAKKAN TULANG BELULANG, PENDERITAAN, TETESAN AIR MATA DAN CUCURAN DARAH UMAT TUHAN DI TANAH INI. TAPI, BANYAK PENGUASA INDONESIA YANG LALIM DENGAN BERTELINGA TULI DAN BUTA HATI NURANINYA. "SEPERTI YAHYA PEMBAPTIS, YANG BERSERU-BERSERU DARI PADANG GURUN, KEPADA PARA PEMBESAR GEREJA DI JAKARTA" (George Junus aditjondro: Baca kata pengantar buku: Pemusnahan Etnis Melanesia)


Pemekaran provinsi-provinsi BONEKA Indonesia di Tanah Papua dengan tiga agenda besar, yaitu OPERASI MILITER, OPERASI RASISME DAN OPERASI TRANSMIGRASI. Tujuannya jelas, yaitu PEMUSNAHAN ETNIS ORANG ASLI PAPUA. 


Operasi militer, operasi transmigrasi dan operasi rasisme itu sudah berlangsung lama sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang dan akan berlangsung selama bangsa kolonial Indonesia menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua. Atau selama Kerajaan Kekerasan atau Kejahatan dan Pemerintahan raja Firaun modern Indonesia masih menindas bangsa West Papua dengan tujuan utama merampok Tanah Subur dan Sumber Daya Alam yang melimpah di Tanah ini. 


Para penguasa dan para jenderal yang kebanyakan pemimpin berjiwa atau watak paranoid dan hypocrisy sejak dulu memperjuangkan operasi militer, operasi transmigrasi dan operasi rasisme. Itu terbukti dengan ada beberapa contoh Jendral dan orang sipil berwatak barbar, kriminal dan rasialis, sebagai berikut: 


1 Jendral Abdul Mahmud Hendropriono 


Pada 6 Juni 2021 mengaku bahwa pada saat di Seskoad pernah mengusulkan: 


"Memindahkan sekitar 2 juta penduduk Irian Jaya dipindahkan ke Manado. Sebaliknya, orang-orang di Manado dipindahkan ke Papua."


2 Jendral Ali Murtopo


“Kalau mau merdeka sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa bermigrasi ke sana. Bisa juga tulis orang Amerika. Mereka sudah menginjakkan kaki di bulan, mungkin mereka akan bersedia menyediakan tempat untuk Anda di sana. Anda yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir lagi, karena jika Anda melakukannya, murka rakyat Indonesia akan menimpa Anda. Lidah Anda pasti akan dipotong dan mulut jahat Anda akan digoyak. Lalu aku, Jenderal Ali Murtopo, akan masuk dan menembakmu di tempat "(Sumber: SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: Maire Leadbeater: 2018: 154)


3. Jenderal Binsar Luhut Panjaitan


Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi isu kemunculan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua. Gerakan itu memfokuskan aksinya untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG).


"Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi." ( Kompas.com, Jumat, 19/2/2016).


4. Ambroncius Nababan: 


"Edodoeee pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies. Sa setuju pace.


Di gambar pak Natalis Pigai ditulis: "DRUN YOK KITA BELI VAKSIN COVID19 DARI LUAR NEGERI. PEMERINTAH PUNYA DIRAGUKAN."


Digambar Golira/Monyet ditulis: "KAKA VAKSIN KITA BUKAN SINOVAC/PFIZER.VAKSIN KITA VAKSIN RABIES."


Melihat dari gerakan RASISME dilakukan para Jendral secara kolektif di Indonesia ini lebih jahat dan berbahaya untuk keutuhan NKRI daripada gerakan separatisme di West Papua. Karena, RASISME adalah musuh Allah dan musuh seluruh umat manusia. Khususnya, penghinaan terhadap Natalis Pigai merupakan penghinaan terhadap martabat kemanusiaan seluruh orang asli Papua dan bangsa-bangsa kulit hitam di seluruh dunia dan juga penghinaan martabat seluruh umat manusia di planet ini. Penguasa Indonesia sedang memelihara dan melindungi para rasis yang mendukung separatisme dan kelompok kriminal berpikiran kotor (kkb) di pusat-pusat kekuasaan.


Seluruh rakyat Indonesia dan rakyat Papua perlu ketahui, bahwa Negara Indonesia melakukan operasi militer, operasi transmigrasi, operasi rasisme. Operasi-operasi ini merupakan sejarah kekerasan terpanjang di Asia. Tiga bentuk operasi ini dilaksanakan pemerintah Indonesia secara sistematis, terpogram, terorganisir, terlembaga, kolektif dan masif. Tujuan utama dari operasi-operasi ini untuk PEMUSNAHAN penduduk orang asli Papua. 


Hermanus (Herman) Wayoi pernah menyatakan: "Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…”    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).


Dalam buku berjudul: Pintu Menuju Papua Merdeka (Yoman:2000, hal.78-86) diungkap Dokumen Sangat Rahasia dari Departemen Dalam Negeri, Dirjen Kesbang dan LINMAS untuk pemekaran provinsi Papua. 


Dalam buku berjudul: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Yoman: 2007), pada bab 5 dibongkar dokumen rahasia Negara untuk pemekaran provinsi-provinsi di Tanah Papua. 


Dokumen rahasia itu juga diulas kembali sebagai peringatan adanya ancaman bahaya itu dalam buku berjudul: Otomomi, Pemerakan, dan Merdeka (Yoman:2010).


Dokumen yang disebut Dokumen Sangat Rahasia bertujuan untuk pengkondisian wilayah dan pengembangan jaringan komumikasi dalam menyikapi perkembangan tuntutan Papua Merdeka. 


Dokumen Sangat Rahasia itu bernomor: 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000. Dan juga "Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariatan Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tanggal 28 Mei 2003 bertema: Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatis di Papua melalui Pendekatan Bidang Politik dan Keamanan."


Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan: "Isu soal pemekaran wilayah yang telah menjadi amanat UU 21 tahun 2001 jadi 5 wilayah nanti. Ini tujuannya adalah untuk lebih fokus menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua." (Sumber: Detikcom, 11 September 2020).


Paradoks dan omong kosong pemekaran fokus kesejahteraan rakyat Papua. Yang jelas dan pasti Pemekaran Provinsi dan Kabupaten itu operasi militer, operasi transmigrasi dan operasi rasisme atas nama pembangungan untuk pemusnahan penduduk asli Papua dengan sistematis, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif. Kalau alasan kesejahteraan, tetapi fakta di depan mata kita bahwa penduduk di Jawa dan Jakarta lebih banyak miskin dan tidur dibawah kolong jembatan dan banyak pengemis hidup tanpa tanah dan juga tanpa harapan. Penguasa Indonesia fokus urus di depan halaman rumah, jangan sibuk urus rumah orang lain yang tidak butuh bantuan dari penguasa korup, kejam, brutal, barbar dan tamak. 


Pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan sadar telah singkirkan persyaratan pemekaran sebuah pemerintahan baru. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai sebuah pemerintahan yang benar biasanya dengan kajian, studi yang layak dan matang. Syarat-syarat atau kriteria yang tidak boleh diabaikan, yaitu ada lima syarat penting: 


1. Jumlah penduduk

2. Luas wilayah

3. Sumber Daya Manusia

4. Sumber Daya Alam

5. Sumber Dana


Paradoks dalam konteks Papua dari lima syarat ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut.


1. Jumlah penduduk dua provinsi Papua dan Papua Barat HANYA 4.392.025 jiwa.


Sangat lucu dan aneh serta sangat tidak rasional penduduk 4.392.025 juta jiwa dibutuhkan 6 provinsi di Tanah Papua. 


Sedangkan jumlah Penduduk:

Jawa Barat 48.270.175 juta jiwa; 

Jawa Tengah 34.718.204 juta jiwa; 

Jawa Timur 39.690.061 juta jiwa; Tetapi tidak ada pemekaran provinsi-provinsi baru.


Apakah layak 4. 392.025 juta penduduk membutuh 6 provinsi di Tanah Papua? 


2. Luas wilayah. Untuk luas wilayah masuk akal karena Papua wilayah luas dan sangat kaya.


3. Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia juga menjadi tantangan tersendiri yang perlu menjadi perhatian yang sangat serius. 


4. Sumber Daya Alam. Ya, SDA tidak menjadi masalah. Tidak perlu dijelaskan.


5. Sumber Dana. Masalah besar ialah darimana dana besar untuk membiayai pemekaran provinsi-provinsi baru di Papua? 


Indonesia sedang sakit parah dengan 

utang Indonesia kepada bangsa-bangsa asing sebagai berikut: 


5.1. Utang Indonesia Tahun 2020


Posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp 5.434,86 triliun. Utang  tersebut terdiri dari SBN Rp 4.596,6 triliun, pinjamanRp 10,53 triliun, dan ULN Rp 828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020. 


5. 2. Utang Indonesia Tahun 2021


Pemerintah menargetkan utang baru padatahun 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun. Sebagian besar utang tersebut didapat melalui penerbitan SBN sebesar Rp1.207,3 triliun.


Kalau pemekaran provinsi-provinsi boneka ini dengan alasan kesejahteraan, tetapi fakta di depan mata kita bahwa penduduk di Jawa dan Jakarta lebih banyak miskin dan tidur dibawah kolong jembatan dan banyak pengemis hidup tanpa tanah dan juga tanpa harapan. Lebih baik urus dan memajukan serta memperbaiki taraf hidup mereka yang miskin tidak punya tanah. Sementara orang-orang asli Papua yang dipaksa mau diurus sejak 1 Mei 1963 sudah punya TANAH milik sendiri dan hidup merdeka dan berdaulat sejak dari leluhur. Rakyat dan bangsa West Papua tidak pernah mengemis dan meminta-minta untuk diurus oleh bangsa kolonial Indonesia yang berkultur militer, babar dan kriminal ini. 


Ingat dan catat baik-baik: Rakyat Papua mampu hidup tanpa Indonesia dan dengan diajukan pertanyaan prinsip seperti ini. 


Apakah seluruh rakyat Indonesia dan lebih khusus rakyat kecil di pulau Jawa sudah SEJAHTERA? Atau masih adakah rakyat kecil masih tidur dibawah jembatan? 


Di Jakarta pusat ibu kota Negara Indonesia di wilayah Menteng dekat hotel Marcopollo di bawah jembatan rel kereta api ke Stasiun Gambir masih banyak orang-orang yang sangat miskin yang tinggal dan tidur dengan beralaskan karton. Hidup mereka sangat miskin, sangat memprihatinkan dan kata "KESEJAHTERAAN" hanya melayang-layang di Negeri yang jauh 6 jam perjalanan Jakarta-West Papua. "KESEJAHTERAAN" yang belum pernah memperlihatkan bentuk, wujud dan wajahnya seperti apa. Kata" KESEJAHTERAAN" itu bahasa lama sejak Pepera 1969.


Buktinya: Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Jenderal Amir Machmud berjanji kepada peserta Pepera pada 14 Juli 1969 di Merauke: 


"....Pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Indonesia." (Sumber: Laporan resmi PBB, 19 November 1969, alenia 18, hal. 2). 


Fakta dan sejarah perjalanan sejak 14 Juli 1969, janji untuk KESEJAHTERAAN untuk rakyat Papua itu terbukti dengan kejahatan, kekejaman, kekerasan yang dilakukan Negara selama ini dan melahirkan pelanggaran berat HAM. Orang asli Papua dibantai seperti hewan dan binatang dengan kekuatan TNI-Polri. 


Oleh karenanya itu, penguasa Indonesia sebaiknya melihat dan perhatikan di halaman rumahmu itu dan jangan melihat dan sibuk dengan yang jauh. Karena orang asli Papua tidak pernah mengemis dan minta-minta untuk diperhatikan dan ditolong. Orang asli Papua tidak perlu dan tidak butuh bantuan. Karena, Orang Asli Papua tidak ada yang miskin dan tidak pernah tidur dipinggir jalan dan tidak pernah tidur beralaskan karton. Orang Asli Papua semua pemilik Tanah.


Orang asli Papua selama ini sejak 1 Mei 1963 dimiskinkan, disingkirkan, dilemahkan, dilumpuhkan dan dimusnahkan oleh penguasa kolonial moderen Indonesia yang sedang menduduki dan menindas rakyat dan bangsa West Papua. 


Kata kurang "KESEJAHTERAAN"

itu lebih cocok dan relevan untuk orang-orang miskin di pulau Jawa dan Jakarta. Lagi pula, kata "KESEJAHTERAAN" sudah usang, ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi untuk era modern. Singkat kata, sudah terlambat karena penguasa Indonesia selalu berjanji dan berbohong kepada orang-orang asli Papua yang jujur, polos, lugu dan sopan.


Penguasa Indonesia tidak pernah penuhi dan tepati janji-janji mereka. Hati, pikiran dan mulut mereka penuh kebohongan dan berbau busuk. Contoh terbaru, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo pada 26 Desember 2014 di lapangan Mandala Jayapura pada perayaan Natal berberjanji mau selesaikan kasus tewasnya 4 siswa di tangan TNI pada 8 Desember 2014, sampai saat ini, janji tinggal janji dan tidak pernah pertanggungjawabkan janji itu. 


Fakta yang diulas ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia adalah benar-benar penguasa kolonial moderen yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua. 


Dr. Veronika Kusumaryati, seorang putri generasi muda Indonesia dalam disertasinya yang berjudul: Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua, mengungkapkan:


"Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. ...kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an" (2018:25).


Pemerintah Indonesia mengulangi seperti pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:


1. Negara Boneka Transkei.


2. Negara Boneka Bophutha Tswana.


3. Negara Boneka Venda.


4. Negara Boneka Ciskei.


(Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).


Akhir dari tulisan pendek ini, penulis memberikan pertanyaan kepada penguasa pemerintah Republik Indonesia.


1. Apakah layak dan memenuhi syarat 6 provinsi hanya untuk 4 juta penduduk di Papua dan Papua Barat?


2. Apakah hanya persoalan Papua mau gadaikan kedaulatan Indonesia kepada negara-negara atau bangsa asing dengan hutang pinjaman besar untuk biaya operasi militer, biaya operasi pemekaran provinsi-provinsi tanpa jumlah penduduk yang sangat tidak rasional? 


3. Apakah tidak ada jalan terbaik atau solusi bermartabat untuk penyelesaian persoalan pelanggaran berat HAM di Papua? 


Doa dan harapan penulis supaya tulisan singkat ini berguna. 


Waa....Waa.....Waa.....Tuhan memberkati. 



Ita Wakhu Purom, 6 Februari 2021


Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.


Anggota: 

1. Dewan Gereja Papua (WPCC)

2. Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)

3. Aliansi Baptis Dunia (BWA). ```

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top