Haruskah Istri Mendapatkan Hukuman, Ketika Selingkuh?
“Itulah hukum
tentang perkara cemburuan, kalau seorang perempuan telah berbuat serong dan
mencemarkan dirinya, padahal ia dibawah kuasa suaminya” (Bilangan 5:29).
Fokus Pikiran: “Orang
yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh
kecurangannya.”
Haruskah istri mendapatkan hukuman, ketika selingkuh?
Ketika seorang suami Israel, mencurigai istrinya berbuat serong tetapi tidak
memiliki saksi, ada sebuah prosedur untuk membuktikan, bahwa istri tersebut
bersalah atau tidak.
1. Ia membawanya, bersama-sama dengan persembahan,
sepersepuluh efa tepung jelai, kepada imam, yang akan membimbingnya ”ke hadapan
Allah.”
2. Imam mencampur sebagian air dan debu yang diambil dari “lantai” kemah suci.
3. Imam menguraikan rambut istri yang dicurigai tersebut dan menyuruhnya
memegang persembahan itu di telapak tangannya.
4. Imam mengucapkan sumpah bahwa jika wanita itu tidak bersalah, ia akan luput
dari kutukan, sedangkan jika ia bersalah, ia akan kena kutuk. Lalu imam
menuliskan kutuk itu pada sehelai kertas dan memasukkannya ke dalam “air pahit
yang mendatangkan kutuk” (ay. 18).
5. Tersangka pun meminum air itu.
6. Imam mengambil persembahan dari tangan wanita itu dan mengunjukkan-nya “ke
hadapan Allah:’
7. Jika wanita itu tetap sehat setelah meminum ramuan kutuk, ia dinyatakan tak
bersalah. Jika perutnya mengembung dan pahanya mengempis (reproductive organs
withered), ia dinyatakan bersalah dan terkutuk.
Kitab
Suci Allah, menyesuaikan diri-Nya terhadap budaya
Bagaimana pendapat kita mengenai pengadilan yang sadis
ini? Terdengar sangat primitif, dengan cara pengadilan yang seperti ini.
Perhatikan bahwa
Allah tidak memerintahkan pengadilan yang sama untuk suami yang berkhianat.
Tetapi apa yang bisa kita harapkan dalam sebuah masyarakat patriarkal?
Wanita dianggap sebagai bahaya yang mengancam. Merekalah yang dapat mendatangkan malu bagi keluarga. Merekalah yang merayu pria hingga terjadi zina. Merekalah yang “najis” selama setengah masa (karena menstruasi). Dan secara finansial pada saat itu, kaum wanita kurang berharga dibandingkan pria.
Wanita dianggap sebagai bahaya yang mengancam. Merekalah yang dapat mendatangkan malu bagi keluarga. Merekalah yang merayu pria hingga terjadi zina. Merekalah yang “najis” selama setengah masa (karena menstruasi). Dan secara finansial pada saat itu, kaum wanita kurang berharga dibandingkan pria.
Pengadilan seperti itu bukan hal yang asing di
masyarakat Timur Dekat, sehingga pasal ini tidak membuat mereka terkaget-kaget
seperti kita. Namun di balik itu kita mendapat secercah gambaran bagaimana
dalam Kitab Suci Allah menyesuaikan diri-Nya terhadap budaya. “Allah
memperuntukkan Firman-Nya bagi manusia yang terbatas” (Selected Messages, jilid
1, hlm. 16). Alkitab “bukanlah cara berpikir dan ungkapan perasaan Allah, Ia
manusiawi… Alkitab… tidak memuat gagasan besar dari Allah” (ibid., hlm. 16. 21,
22). Namun merupakan hak istimewa bagi kita untuk menerima Alkitab “sebagaimana
adanya” (ibid., hlm. 17).
Sumber:Renungan Harian
Sumber:Renungan Harian