Romero (1989): Uskup Pembela Kaum Tertindas
Uskup Agung San Salvador, Oscar Arnulfo Romero tertembak tepat di jantungnya ketika baru saja selesai berkotbah di sebuah gereja. Hingga kini, pembunuhnya tidak pernah diseret ke pengadilan.
Untuk menjejaki perjuangan suci Oscar Romero, silahkan tonton film lawas berjudul Romero karya sutradara John Duigan. Film yang diproduksi tahun 1989 memperlihatkan dua sisi dalam gereja El Salvador kala itu.
Sisi pertama adalah sisi progressif, yaitu para pemuka agama yang memihak rakyat tertindas dan menentang pemerintahan militer yang disokong oleh Amerika Serikat. Mereka ini banyak diilhami oleh ajaran teologi pembebasan.
Sisi yang kedua adalah konservatif, yang memilih bersekutu secara halus maupun vulgar dengan pemerintahan militer. Mereka berkhotbah bahwa gereja harus bebas dari politik dan bersikap netral terhadap keadaan.
Awalnya, Oscar Romero berada di kubu konservatif. Dia bersikap bahwa gereja harus berada di tengah alias netral dalam pergolakan politik yang tengah melanda El Salvador. Dia juga mengeritik imam yang mengagitasi rakyat dengan pikiran-pikiran radikal.
Namun, beberapa peristiwa mengubah haluan Sang Uskup Agung. Pertama, pembunuhan seorang imam Jesuit pembela kaum tertindas, Rutilio Grande, oleh pembunuh bayaran yang dipakai oleh pemerintahan militer. Untuk diketahui, Romo Grande adalah kawan dekat Romero.
Kedua, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para imam dan pejuang keadilan yang seringkali berlangsung di depan mata Romero. Kemana saja ia berjalan, di kanan-kirinya adalah jeritan rakyat El Salvador yang disiksa dan dibunuh secara keji oleh rezim militer, hanya karena mereka membicarakan dan memperjuangkan hak-haknya.
Dalam sekejap, konservatisme Romero melenyap total. Dalam sekejap pula ia tegas menyakini bahwa tugas melayani Tuhan seharusnya tidak terpisahkan dengan tugas melayani Rakyat yang notabene adalah anak-anak Allah. Bahwa misi gereja seharusnya adalah memihak si miskin dan berjuang bersama mereka untuk tegaknya keadilan.
Isi kotbah Uskup Romero berubah jadi progressif. Dia tidak hanya mengutuk penganiayaan terhadap rakyat, tetapi juga mempersoalkan ketidakadilan ekonomi. “Aku percaya ketidakadilan ekonomi adalah akar dari masalah-masalah kita,” kata Romero.
Pergeseran pandangan Romero tentu saja mengusik pemerintahan militer. Terlebih lagi, Romero sebagai Uskup Agung El Salvador menolak menghadiri dan memberi pemberkatan saat pelantikan pemerintahan junta militer. Baginya, kehadiran Uskup Agung bisa dimaknai sebagai dukungan terhadap berbagai tindakan pemerintahan militer yang menganiaya rakyat.
Tidak hanya itu, dia juga mengecam tentara yang telah mengabaikan Sabda Allah: jangan membunuh. Menurut dia, tentara tidak wajib mematuhi perintah yang berlawanan dengan hukum ilahi. Dia berseru kepada tentara dan paramiliter: “Demi Allah, demi rakyat yang teraniaya, yang jeritan-tangisnya sampai ke Surga, saya memohon dengan sangat kepadamu, saya meminta kepadamu, saya memerintahkanmu: Hentikan penindasan!”
Sebetulnya, melalui film ini, kita juga diperlihatkan wajah bengis rezim militer. Tidak hanya menganiaya rakyat, tetapi juga menginjak-injak simbol-simbol keagamaan dan gereja. Diperlihatkan tentang gereja yang diambilalih tentara dan dijadikan barak. Ketika Uskup Romero hendak mengambilalih kembali gereja itu, tentara menembaki peralatan peribadatan gereja secara membabi-buta.
Yang menarik juga, kendati menyerukan perlawanan terhadap kediktatoran, Uskup Romero menolak metode perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh gerilyawan kiri. Dia menolak jalan kekerasan karena mengabaikan kekuatan cita dan doa.
Lebih jauh, dia juga tidak setuju dengan perkawinan marxisme dengan teologi pembebasan. Menurutnya, materialisme marxisme jelas ateis dan membuat penafsiran salah terhadap agama. Dia juga tidak setuju dengan pendekatan politik marxisme yang mengedepankan perjuangan kelas dan kekerasan.
Saya kira, Romero hendak menunjukkan bahwa, tanpa andil marxisme sekalipun, ajaran Kristus sebetulnya sudah progressif. Bahwa membela dan memperjuangkan si miskin adalah tugas keimanan setiap pengikut Kristus.
Pada 24 Maret 1980, seorang pembunuh dikirim oleh pemerintah militer untuk membunuh Uskup Romero. Kematian Romero mengagetkan dunia dan rakyat El Salvador. Prosesi pemakamannya, pada 30 Maret 1980, dihadiri oleh ratusan ribu orang.
Rupanya, perhitungan rezim militer bahwa pembunuhan Romero akan mengakhiri perlawanan benar-benar meleset. Faktanya, kematian Romero justru menginspirasi perlawanan semakin berlipat-ganda.
Pada bulan Oktober 1980, berbagai kelompok perlawanan sepakat membentuk Frente Farabundo Martí para la Liberación Nacional atau Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN). Sejak Januari 1981, FMLN mengobarkan perang gerilya besar-besaran untuk menggulingkan rezim militer.
Perang besar itu berkobar selama 12 tahun, yang menyebabkan 75 ribu rakyat El Salvador tewas. Menurut PBB, sebanyak 85 persen dari korban itu dibunuh oleh militer dan pasukan pembunuh pemerintah. Sedangkan 5 persen tewas di tangan FMLN.
Tahun 1992, perjanjian damai diteken. FMLN berubah menjadi partai politik. Sedangkan militer dan pendukungnya sejak 1981 membentuk partai sendiri, yakni Aliansi Republikan Nasionalis (ARENA). ARENA mengontrol politik El Salvador sejak 1980-an hingga tahun 2000-an.
Tahun 2009, FMLN memenangi pemilu. Kandidat FMLN, Mauricio Funes, terpilih sebagai Presiden. Untuk pertamakalinya dalam sejarah El Salvador, dinasti kaum kaya dan militer berhasil disingkirkan dari kekuasaan politik.
Sayang, hingga sekarang pelaku pembunuhan Uskup Romero belum pernah diseret ke pengadilan. Padahal, terang sekali bahwa pembunuhan Romero terkait dengan sikap kritisnya terhadap pemerintahan militer.
Pada tahun 1993, Komisi Kebenaran PBB untuk El Salvador sudah menyimpulkan: ada bukti yang sangat jelas bahwa Roberto D’Aubuisson telah memberikan perintah untuk membunuh Uskup Agung. Roberto D’Aubuisson adalah bekas perwira di zaman itu dan belakangan menjadi pendiri partai ARENA.
Memang, Roberto D’Aubuisson meninggal tahun 1992. Namun, upaya penyelidikan terhadap pembunuhan Romero tidak berhenti. Sebab, bisa dipastikan bahwa Roberto D’Aubuisson tidak bertindak sendiri. Dia menjadi bagian dari rezim militer saat itu.
Untuk menghormati Uskup Romero, tanggal 24 Maret (hari kematiannya) sudah ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran korban pelanggaran HAM dan martabat korban.
(Zainab/berdikarionline)